November sudah berjalan setengah, angin-angin yang sejak awal bersahabat
kini mulai mengeras. awan-awan yang lembut kini bergumul dan mulai menghitam. Aku
masih ada di cubicle kecilku. Memperhatikan hujan yang turun dibalik kaca
jendela. Dua tahun terakhir ini, banyak yang berubah dengan kehidupan. Dahulu,
aku adalah penikmat hujan yang selalu berlari terbirit-birit keluar saat petir
dan suara gemuruh berdentum di sisi langit. Berusaha mengumpulkan tetes-tetes
pertama yang jatuh ke bumi. Aku mempercayai mitos, bahwa tetes-tetes hujan
pertama adalah katalisasi embun yang sudah sangat lama berharap dijatuhkan
sebagai titik hujan. Harapan-harapan yang tergumpal itu terus bertumpuk dan
mengendap. Hingga sang petir yang gemuruh memberi perintah kepada awan agar
menurunkan harapan-harapannya agar dikabulkan. Aku adalah orang di bawah langit
yang bersedia memeluk harapan-harapan kecil yang jatuh itu dengan wajah gembira.
Membiarkan tetesnya menjadi rintik riuh yang menjamah seluruh tubuh. Setidaknya
dulu. Dua tahun lalu.
Kembali padaku dan cubicle kecilku yang sedang memandang harapan-harapan
yang jatuh itu kini. Aku hanya dapat menghitung rintik hujan dari kaca jendela.
Menyaksikan beberapa dari rintiknya membentur kaca, bertemu sesamanya, dan mati
sebagai lelehan-lelehan yang melumer di permukaan kaca. Seragam yang aku
gunakan kini terasa seperti baju zirah yang berat. Menjadi paku yang menancapkan
aku di tengah meja kerjaku. Menahan lari terbiri-birit yang sering secara
tiba-tiba kulakukan dulu. Lebih banyak pertimbangan yang harus dipikirkan
sebelum memutuskan untuk memeluk harapan-harapan kecil itu lagi kini. Pun jika
terlalu ingin memeluk mereka, aku akan turun ke lantai bawah dan menyeberangi
taman kecil ditengah gedung-gedung tinggi dengan alasan membeli secangkir kopi.
Mencuri-curi rintik dengan tangan di bawah payung seperti seorang anak yang
mencuri permen.
Aku ingin menikmati hujan seperti dulu, tanpa sembunyi-sembunyi dan
payung yang membenteng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar