Ada sesuatu dari wanita itu
yang membuatku terus jatuh cinta. Aku tidak dapat menyebutkan secara jelas.
Tapi, menikmati kebersamaan dengannya, berjalan bersebelahan, saling
bertatapan, atau sekedar berkelakar mungkin adalah beberapa hal yang dapat aku
sebutkan serta paling aku rindukan dari dirinya.
Ini adalah kepulangan kesekian
kali dimana aku memandangnya di tengah bus yang hendak berjalan menjauh.
Merayap perlahan-lahan mengaburkan senyumnya yang jelas menjadi kabur setebal
kabut yang terbaur senja.
Aku mencintai senyum
sederhananya yang kuyakin telah ada sejak kecil. Karena meninggalkan bekas di
kedua belah pipi yang jika merekah senyumnya membuat sebuah garis simpul utuh
yang cantik.
Aku suka ritual-ritual kecil
yang dia siapkan untuk setiap pertemuan kami.
Tatapan matanya yang hangat dan
bulat. Gelak tawanya yang rendah dan mengalir. Jemarinya yang secara genap
mengapit seluruh jariku. wangi yang dia sebarkan untuk mengiri langkah kami.
Bahkan kesalnya yang selalu kuanggap manis.
Vonislah aku jatuh cinta.
Karena terbutakan oleh segala dari dirinya. Dan aku tidak keberatan untuk jatuh
sekali lagi. Untuk lagi-lagi buta dan terbutakan. Karena buta membuka mata hati
yang kian jujur. Mata yang memang sejatinya lebih melihat. Kelak, di jatuh
cinta yang kesekian kalinya, aku akan buta secara tetap. Dan berjalan
bersamanya dalam mata hati yang kian jujur.
Maka jatuhkanlah aku sekali
lagi.
Akasia tua benar. Semenjak
menemukannya, dia adalah diksi-diski baru untuk puisiku yang dipenuhi rindu dan
dimekari kasih. Dia adalah kata-kata baru yang meresap dan mengakar dalam
setiap prosaku. Dia adalah nafas baru bagi setiap nada yang dilantunkan.
Wanita dengan jarak. Mencintai
jarak antara diriku dan dirinya sebagai sebuah cerita yang terus bersambung.
Memberi celah agar kenangan dapat masuk dan tersusun rapi lembar demi lembar.
Membuat ruang dalam kenangan lebih rapi dan tertata. Lebih manis dan layak
ditinggali.
Wanita dengan jarak,
mengajarkanku tentang cinta dalam pertemuan. Kasih sayang dalam perjalanan.
Karena cinta yang kami tahu tidak mengenal tempat. Tidak mengenal kota. Cinta
kami di bumi dan doa kami di langit. Maka setiap tempat yang kami pijak adalah
sebuah ranah yang membebaskan kepercayaan dan kesetiaan bermain secara bebas.
Seperti dua anak kecil yang bercanda menunggu senja tiba. Mengharapkan waktu
pulang berpegangan ke rumah masing-masing dalam gelap.
Untuk orang yang berada di sebelahku dalam perjalanan dan
perjalan kita yang semakin panjang.
Baca judulnya, kirain mau nulis daftar mantan. Eh ternyata...
BalasHapusKeren tulisannya :))