Akasia tua hidup di
tengah kota. Wajahnya bahagia.
Cinta telah menjadi
pupuk gersangnya berkotak-kotak manusia.
Cinta tidak bergema,
cinta tidak terbata.
Kota, menjadikan
akasia kotak pertemuannya.
Akasia tua tertawa,
mengingat cinta dibawah dahannya.
Cita buta malu dari
kekasih sebaya.
Wanita bersembunyi lucu
dibalik batang akasia.
Saat sang pria datang,
membawakan satu ikat mawar yang tak terduga.
Akasia tua tersengguk-sengguk,
menjaga cinta yang tak terjaga.
Menggoreskan kepedihan
cinta pertama.
Pria berlindung pedih di
batang akasia.
Mengintip pelan wanitanya,
menggenggam jemari pria dewasa.
Akasia tua terenyuh,
menunjukkan cinta yang setia.
Menggambarkan penantian
datangnya cinta.
Wanita berselimut
mantel berbekal harapan pada cinta yang akan tiba.
Menunggu embun
pagi menua hingga menjadi senja.
Akasia tua bangga,
mendramakan patriot cinta.
Memainkan peran perjuangan
meraih sehunus cinta.
Pria berjubah
menantang hunusan sepuluh pedang mertua.
Cintanya, dibatasi
tembok kastil yang tak kunjung terbuka.
Aku mendengarkan semua cerita disamping akar aksia tua tengah kota.
Suatu saat nanti,
akasia tua itu akan kembali bercerita.
Aku salah satu dari pemeran ceritanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar