Selasa, 26 Agustus 2014

Puisi: Akasia Tua



Akasia tua hidup di tengah kota. Wajahnya bahagia.
Cinta telah menjadi pupuk gersangnya berkotak-kotak manusia.
Cinta tidak bergema, cinta tidak terbata.
Kota, menjadikan akasia kotak pertemuannya.

Akasia tua tertawa, mengingat cinta dibawah dahannya.
Cita buta malu dari kekasih sebaya.
Wanita bersembunyi lucu dibalik batang akasia.
Saat sang pria datang, membawakan satu ikat mawar yang tak terduga.

Akasia tua tersengguk-sengguk, menjaga cinta yang tak terjaga.
Menggoreskan kepedihan cinta pertama.
Pria berlindung pedih di batang akasia.
Mengintip pelan wanitanya, menggenggam jemari pria dewasa.

Akasia tua terenyuh, menunjukkan cinta yang setia.
Menggambarkan penantian datangnya cinta.
Wanita berselimut mantel berbekal harapan pada cinta yang akan tiba.
Menunggu embun pagi menua hingga menjadi senja.

Akasia tua bangga, mendramakan patriot cinta.
Memainkan peran perjuangan meraih sehunus cinta.
Pria berjubah menantang hunusan sepuluh pedang mertua.
Cintanya, dibatasi tembok kastil yang tak kunjung terbuka.



Aku mendengarkan semua cerita disamping akar aksia tua tengah kota.
Suatu saat nanti, akasia tua itu akan kembali bercerita.



Aku salah satu dari pemeran ceritanya.





26 Agustus 2014 sebelum Gajian 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar