Selasa, 17 Juni 2014

Day 10: Dua Sepur, Atap Rumah, Senyum Kucing

Dua Sepur

Angin berhembus dingin, matahari belum juga hendak menggeliat pukul enam pagi ini, masih membiarkan mendung berkelebat sesuka hati. Namun suasana stasiun UI sudah ramai oleh penumpang yang hendak bekerja, berlalu lalang melintasi perlintasan dua sepur dengan pembatas besi berwarna kuning hitam. Aku sedang membaca novel di seberang sepur, sepur dimana kereta menuju Jakarta dan Sudirman akan melintas. Kereta yang akan membawa kita ke tujuan kita masing-masing, aku hanya berangan-angan sepanjang perjalanan dapat menemanimu, melewati banyak stasiun sebelum sampai ke tempat kita berpisah nanti. Tangan dan kepalaku sibuk membaca, namun mataku sesekali melirik kerumunan orang yang sedang menyebrang sepur. Berharap kau salah satu orang yang menyeberang disana, dengan senyum dan wangi yang sama. Bukankah, jam tujuh seharusnya jadwalmu pergi?

Bel stasiun berbunyi, menyatakan setengah tujuh sudah lewat. Aku melipat buku dan memasukannya ke dalam tas, berjalan menuju tengah dan bersiap menaiki kereta, pagi ini tanpamu. Headset yang sejak tadi menempel sudah tidak dapat lagi menjadi kenyamanan, saat semua pikiran tertuju dan berarah padamu.

Beberapa hari yang lalu kau sudah bilang agar kita tidak usah saling mengenal lagi.  Kau bahkan tidak sempat memberiku waktu untuk bertanya, atas semua perlakukanmu padaku, apa salahku?

Sejujurnya. Orang-orang yang terikat hutang pada masa lalu, meskipun mereka baik, punya rasa tanggung jawab yang besar, sebenarnya adalah orang yang rapuh. Aku sempat berpikir apakah akibat dari suatu hal yang tidak berjalan baik sebelumnya telah membuatmu menjadi dirimu yang sekarang. Tapi, pada akhirnya, kau yang sekarang adalah kau yang membuat aku suka. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada masa lalumu. Tapi penyesalanmu menjadi bagian dari siapa dirimu sekarang.

Hari ini adalah akhirnya, dimana semua akan berakhir. Tapi, jika suatu saat nanti kita bertemu kembali, saat kita berdua sama-sama telah dewasa dan berbeda. Aku harap kita dapat memulai sesuatu yang baru lagi. Not as a promise, but as a wish. Would that be ok?


--


Atap Rumah

“Biip, Biip, Biip” ponsel berbunyi di atas meja, aku keluar kamar mandi setelah menyegarkan diri dari rutinitas harian. Meraih ponsel sembari tetap mengeringkan kepala dengan handuk. Mengambil segelas cokelat yang sejak tadi kupanaskan dan duduk di beranda belakang yang langsung menghadap langit juga apartment setengah jadi di seberang jalan. Membaca pesan-pesan singkat sambil menikmati suasana malam. Kehidupan berjalan lebih tenang saat kita tahu porsi yang tepat untuk segala sesuatu. Sama seperti perahu kecil yang berjalan turun mengikuti arus menuju muara. Mengusik kapal melebihi porsinya akan membuat air terguncang bahkan mungkin membalikkan perahu. Bukankah menenangkan kapal agar tidak terguncang akan mengantarkan kita pada perjalanan yang aman dan nyaman hingga akhir? Tapi, benarkan perjalanan tenang tanpa tantangan seperti itu yang kita inginkan?

Bintang berpendar tipis di langit Depok yang berkabut. Beberapa hari ini langit Depok selalu mendung, menyembunyikan awan-awan sirus kecil, menggantikannya dengan cumulonimbus stratus besar dan berwarna ke abu-abuan yang membawa hujan, mendesak matahari agar pulang lebih dini. Aku tidak menyukai awan akhir-akhir ini, terlalu agresif dan mengumbar. Namun, menempatkan segala sesuatu pada porsinya adalah hal yang terbaik bukan? Termasuk juga dalam hal menyukai awan.


--



Senyum Kucing

Suara derit kendaraan terdengar dari kejauhan, aku seperti biasa, duduk di beranda belakang rumah sewaan di bilangan kober, Depok. Sedang membaca buku dengan segelas cokelat panas di hari yang sudah larut, melarutkan imajinasi yang terbawa oleh buku karangan Dee hingga tiba-tiba aku tersentak kaget. Seekor kucil turun dari atap langsung ke bawah berandaku, kucing kecil yang gendut berbulu hitam dan putih. Menatapku tidak asing dari jarak yang tidak terlalu jauh.

“hai kucing kecil, kesepian ya?” ujarku.


Sang kucing hanya mendengkur kecil sambil memicingkan matanya hingga terlihat seperti sedang tersenyum. Kucing yang lucu, gumamku dalam hati. Akupun kini sama kesepiannya, tinggal sendiri di kota yang bahkan bingung dengan identitasnya sendiri. Antara cyber city atau kota ramah anak, atau mungkin kota ruko. Entahlah, sang kota pun tidak begitu tahu apa yang diinginkannya. Mungkin kita dapat bersahabat baik, Depok.


--




Tidak ada komentar:

Posting Komentar