Dua Sepur
Angin berhembus dingin, matahari belum juga hendak menggeliat pukul enam
pagi ini, masih membiarkan mendung berkelebat sesuka hati. Namun suasana
stasiun UI sudah ramai oleh penumpang yang hendak bekerja, berlalu lalang
melintasi perlintasan dua sepur dengan pembatas besi berwarna kuning hitam. Aku
sedang membaca novel di seberang sepur, sepur dimana kereta menuju Jakarta dan
Sudirman akan melintas. Kereta yang akan membawa kita ke tujuan kita
masing-masing, aku hanya berangan-angan sepanjang perjalanan dapat menemanimu,
melewati banyak stasiun sebelum sampai ke tempat kita berpisah nanti. Tangan dan
kepalaku sibuk membaca, namun mataku sesekali melirik kerumunan orang yang
sedang menyebrang sepur. Berharap kau salah satu orang yang menyeberang disana,
dengan senyum dan wangi yang sama. Bukankah, jam tujuh seharusnya jadwalmu
pergi?
Bel stasiun berbunyi, menyatakan setengah tujuh sudah lewat. Aku melipat
buku dan memasukannya ke dalam tas, berjalan menuju tengah dan bersiap menaiki
kereta, pagi ini tanpamu. Headset yang sejak tadi menempel sudah tidak dapat
lagi menjadi kenyamanan, saat semua pikiran tertuju dan berarah padamu.
Beberapa hari yang lalu kau sudah bilang agar kita tidak usah saling
mengenal lagi. Kau bahkan tidak sempat
memberiku waktu untuk bertanya, atas semua perlakukanmu padaku, apa salahku?
Sejujurnya. Orang-orang yang terikat hutang pada masa lalu, meskipun
mereka baik, punya rasa tanggung jawab yang besar, sebenarnya adalah orang yang
rapuh. Aku sempat berpikir apakah akibat dari suatu hal yang tidak berjalan baik
sebelumnya telah membuatmu menjadi dirimu yang sekarang. Tapi, pada akhirnya,
kau yang sekarang adalah kau yang membuat aku suka. Aku tidak tahu apa yang
terjadi pada masa lalumu. Tapi penyesalanmu menjadi bagian dari siapa dirimu
sekarang.
Hari ini adalah akhirnya, dimana semua akan berakhir. Tapi, jika suatu
saat nanti kita bertemu kembali, saat kita berdua sama-sama telah dewasa dan berbeda.
Aku harap kita dapat memulai sesuatu yang baru lagi. Not as a promise, but as a
wish. Would that be ok?
Atap Rumah
“Biip, Biip, Biip” ponsel berbunyi di atas meja, aku keluar kamar mandi
setelah menyegarkan diri dari rutinitas harian. Meraih ponsel sembari tetap
mengeringkan kepala dengan handuk. Mengambil segelas cokelat yang sejak tadi
kupanaskan dan duduk di beranda belakang yang langsung menghadap langit juga
apartment setengah jadi di seberang jalan. Membaca pesan-pesan singkat sambil
menikmati suasana malam. Kehidupan berjalan lebih tenang saat kita tahu porsi
yang tepat untuk segala sesuatu. Sama seperti perahu kecil yang berjalan turun
mengikuti arus menuju muara. Mengusik kapal melebihi porsinya akan membuat air
terguncang bahkan mungkin membalikkan perahu. Bukankah menenangkan kapal agar
tidak terguncang akan mengantarkan kita pada perjalanan yang aman dan nyaman
hingga akhir? Tapi, benarkan perjalanan tenang tanpa tantangan seperti itu yang
kita inginkan?
Bintang berpendar tipis di langit Depok yang berkabut. Beberapa hari ini
langit Depok selalu mendung, menyembunyikan awan-awan sirus kecil,
menggantikannya dengan cumulonimbus stratus besar dan berwarna ke abu-abuan
yang membawa hujan, mendesak matahari agar pulang lebih dini. Aku tidak
menyukai awan akhir-akhir ini, terlalu agresif dan mengumbar. Namun,
menempatkan segala sesuatu pada porsinya adalah hal yang terbaik bukan? Termasuk
juga dalam hal menyukai awan.
--
Senyum Kucing
Suara derit kendaraan terdengar dari kejauhan, aku seperti biasa, duduk
di beranda belakang rumah sewaan di bilangan kober, Depok. Sedang membaca buku
dengan segelas cokelat panas di hari yang sudah larut, melarutkan imajinasi
yang terbawa oleh buku karangan Dee hingga tiba-tiba aku tersentak kaget. Seekor
kucil turun dari atap langsung ke bawah berandaku, kucing kecil yang gendut
berbulu hitam dan putih. Menatapku tidak asing dari jarak yang tidak terlalu
jauh.
“hai kucing kecil, kesepian ya?” ujarku.
Sang kucing hanya mendengkur kecil sambil memicingkan matanya hingga
terlihat seperti sedang tersenyum. Kucing yang lucu, gumamku dalam hati. Akupun
kini sama kesepiannya, tinggal sendiri di kota yang bahkan bingung dengan
identitasnya sendiri. Antara cyber city atau kota ramah anak, atau mungkin kota
ruko. Entahlah, sang kota pun tidak begitu tahu apa yang diinginkannya. Mungkin
kita dapat bersahabat baik, Depok.
--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar