Kamis, 22 Mei 2014

Cita-Cita itu Bakat?

Mari berbicara mengenai cita-cita dan bakat.


Jakarta sedang macet di luar. Aku berdiri melipat tangan di balik jendela lantai delapan ruang kerja. Menemukan diri telah menjadi bagian dari perusahaan yang sejak dulu selalu aku hindari: BUMN. Setelah bersusah payah berjalan dan berurusan dengan hidup untuk dua puluh tiga tahun, tepat kah untuk memilih terlibat dalam profesi yang pernah masuk daftar hitam cita-citaku dulu? Mari berbicara sesuatu mengenai cita-cita dan bakat. Kedua hal ini unik, karena mereka sama sekali tidak ada keterhubungannya dengan pekerjaan, atau profesi. Setidaknya menurutku. Banyak pelajar yang memantaskan diri mereka untuk pekerjaan atau profesi tertentu, bahkan tidak sedikit yang rela membayar mahar pendidikan begitu mahal untuk dapat disebut pantas. Tapi setelah selesai memantaskan diri, ternyata profesi tersebut tidak selalu untuk mereka. Banyak yang banting haluan ke sesuatu yang bahkan tidak pernah mereka duga. Ke sesuatu yang bahkan tidak pernah mereka rasa mungkin, apalagi sempat memantaskannya.

Cita-cita dan bakat tidak selamanya berhubungan dengan pekerjaan dan profesi. Sekali lagi setidaknya untukku. Semua manusia dilahirkan secara unik, untuk hal ini, anak-anak kecil adalah yang paling jujur dengan dirinya sendiri. Melakukan apa yang mereka suka tanpa memperdulikan apapun. Dalam perjalanan menuju kedewasaan kita memperoleh banyak sekali bekal. Mulai dari norma, adat istiadat yang harus dipegang teguh, dan ajaran sopan-santun yang terkadang memunculkan hambatan mental untuk mendengar panggilan yang berasal jauh dari dalam hati. Ingin mencoba jadi seniman tapi bersekolah di major ekonomi, Ingin hidup menjadi petualang, tapi apakah uangnya cukup? Atau ingin menjadi penulis, tapi takut penghasilan tidak dapat menutupi biaya lifestyle yang semakin menggila. Pada akhirnya kita hanya akan menjadi takut dan semakin takut terhadap keunikan kita sendiri.



Berbicara mengenai menemukan keunikan, dalam dua puluh tiga tahun berurusan dengan hidup, hampir semua hal telah kucoba. Bermusik selama delapan tahun di Marching Band Pemprov yang kala itu merupakan Unit terbesar di Jawa Barat, ini mengantarkanku ke kejuaran nasional hingga berkali-kali. Tapi tetap, aku tidak berusaha mendalami dunia musik. Mencoba Flash programing, hingga mengikuti banyak seminar dan mahir membuat Seni interaktif dengan komputer. Tapi tetap, aku tidak berusaha mendalami dunia seni interaktif. Menjadi pesepeda, dan segera mahir teknik melahap tanjakan atau turunan, lompatan atau putaran. Tapi tetap, aku tidak berusaha mendalami dunia bersepeda. Merangkai kata dan memilin makna dalam puisi. Menulis banyak dengan berbagai nama samaran. Tapi tetap, aku tidak berusaha mendalami dunia sastra. Berjungkir balik bermain teater, memaknai artistik dan pencahayaan panggung. tapi tetap, aku tidak berusaha mendalami dunia teater. Bermain dengan kertas pisang, membuat beragam kerajinan indah yang meluluhkan hati. Tapi tetap, aku tidak berusaha mendalami dunia crafting. dan hal itu terus berlangsung hingga kini. Menemukan pisau-pisau baru yang kelihatannya bagus dan berkilau, tapi tidak pernah berusaha mengasahnya.

Aku seperti seorang anak dengan banyak pisau yang berkilau dan tumpul, tapi tidak ada yang secara serius kutajamkan untuk sarana bertahan hidup, atau sekedar sarana aktualisasi diri. Aku memang memiliki banyak pisau-pisau potensi yang dapat diasah, tapi perbincangan dalam diri telah sepakat bahwa aku masih belum ingin memilih pisauku, masih banyak pisau yang dapat aku coba sebelum akhirnya memilih bakat yang dapat menyelamatkan hidup ke depan. Dan inilah aku sekarang, berdiri melipat tangan tanpa bakat yang benar-benar tajam untuk bertahan hidup. Semuanya yang kulakukan kini ada di dalam jalur, sebuah arus kontradiktif yang mengalir dengan sendirinya. Mengantarkanku menuju tempat yang lebih aman. Lebih aman, bukan yang lebih diinginkan. Disini pisau tidak dibutuhkan, karena semua sama dan tidak ada peperangan.

Apa keberadaanku di tempat yang lebih aman ini bermakna? Apa berada di lingkungan yang aman, dimana pisau yang sudah kita asah dengan susah payah itu tidak diperlukan adalah pilihan yang aman?

Berbicara mengenai kebermaknaan, seberapa ingin kau terlibat dalam sebuah makna? Untuk menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar, menjadi bermakna dengan pisau yang kalian asah. seberapa besar? Kenapa tidak tanyakan itu kepada diri sendiri, kenapa kita diciptakan? Apakah keberadaan kita bermakna? Dan jika iya Lalu kenapa? Seperti yang diceritakan Rene Suhardono:
Bahkan Sebuah bata punya kehendak menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar, berkontribusi menjadi bata di jalanan membuatnya bermanfaat, dan lebih dari bermanfaat saat dia menjadi bagian dari sebuah rumah, lalu menjadi ikon sejarah saat dia menjadi bagian dari sebuah piramida di Mesir.
Jadi, apa yang kita inginkan untuk menjadi cita-cita kita? Apakah itu satu arah dengan bakat yang kita tajamkan? Jawabannya ada di dalam diri kita sendiri. Hati, mengetahui lebih dulu daripada otak. Jangan terlalu bingung memikirkan hal yang secara alami sudah ada dalam diri. Karena (mungkin) bakat adalah hal yang paling kau senangi untuk dilakukan, dan bukan apa yang kau ahli untuk lakukan.


Akupun, masih bingung

--



Picture by: Sebastien Millon

3 komentar:

  1. ngga ada widget join blog ya kak? hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. sudah ditambahkan dibawah ya safitri. terima kasih sarannya :)

      Hapus