Senin, 12 Mei 2014

Semut Biru

Jumat akhir pekan kemarin, tuhan merancang sebuah pertemuan yang setengah tidak disengaja antara aku dan seorang kawan yang sudah lama tidak kulihat lagi wajahnya. Sebenarnya tidak pernah ada perkenalan dan kedekatan yang begitu resmi, bahkan seumur hidup, aku hanya sempat bertemu dengannya dua kali, ini mungkin kali ketiga pertemuan yang telah tuhan rancang. Pertemuan pertama adalah saat aku sedang dalam pelarianku dua semester yang lalu, dia yang tiba-tiba muncul begitu saja dalam prosesku meluruskan benang-benang masa lalu yang kusut, setelahnya ternyata setia membaca seluruh perjalanan yang ku guratkan dalam tulisan. Aku senang dia baik-baik saja, terutama setelah aku menelisik dalam blog miliknya, banyak cerita merah saga yang sangat mungkin merontokkan hati jika dipiara serius dalam belenggu kesendirian.

Salah perkiraanku yang pertama, dia ternyata tidak pernah sendiri, bukan karena semua kesibukan yang selalu diajang-ajang sebagai obat luka atas kesendiriannya, dia tidak pernah sendiri dalam hatinya, selalu ada sosok agung yang menjaganya, membersihkan dan mensucikan dalam setiap sujudnya. Itu yang pertama kali aku lihat jumat petang kemarin, seorang wanita yang masih kewalahan akan tumpukan kenangan yang harus segera dirapihkan. Tapi entah kenapa dirinya terjaga dari angin yang gemar mengacak-acak kenangan. Terjaga oleh selubung kaca yang rapi. Jika aku boleh bicara serampangan, Tuhan mempermudah proses penyembuhan terhadap hati yang terluka.



Seperti apa katamu: setiap orang akan pulang dan pergi, sebagian akan kembali, hanya kita yang tidak tahu kapan waktunya. Itu rahasia tuhan bukan? Mari tetap membiarkan itu menjadi rahasia dan percaya padanya, sebenarnya tidak pernah ada waktu yang salah. Tugasmu untuk merapihkan kenangan-kenangan itu sudah tiba, agar suatu saat jika kau ingin melihat kembali, kenangan-kenangan itu sudah tersusun rapi, tidak akan mrepotkanmu lagi. Tugasmu kini lebih mudah, toh tidak ada angin yang berani mendekat dan memporak-porandakan prosesmu, selama kau menjaga wajah itu tetap basah oleh wudhu, dan hati itu oleh ibadah.

Aku tidak berani banyak berkomentar tentang ibadah yang membuatmu menjalani hidup dengan cara yang indah, pun parasmu yang lebih cantik dan dewasa di pertemuan terakhir. Kamu sering memperbanyak pemahamanmu mengenai tuhan dan agamanya. Aku dalam umurku yang ke dua puluh tiga, baru mulai belajar mengenai agamaku dan tuhanku yang sebenarnya telah disematkan sejak lahir.

Baiklah, itu prosesku. Mari kembali ke prosesmu dengan satu kalimat: sekekar apapun seorang pria, sepintar apapun seorang wanita menjaga diri, cepat atau lambat mereka akan berurusan dengan cinta juga. Cinta seperti angin yang menghempas tubuh, dapat menyelinap kemanapun dia ingin, kepada siapapun yang dia suka, memutuskan dengan serampangan untuk mengoyak-oyak hati atau tetap membuatnya sejuk. Tidak apa, toh kita manusia. Bukankah hal yang wajar jika dengan apapun alasannya kita mencintai seseorang?

Begitu pula sebaliknya, patah hati entah dengan apapun alasannya adalah hal yang wajar bukan? Lalu, mengapa kita tidak dapat menuntaskan patah hati secepat jatuh cinta?


Aku ingin menceritakan sesuatu, tentang angin, pohon dan daun.

Sebuah pohon akasia tua, meranggas dalam musim gugur yang sudah dingin, menggigil oleh terpaan angin yang bersiul tanpa permisi setiap pagi dan sore. Akasia tua menjaga dirinya tetap hangat oleh daun-daun yang sudah menua, namun apa daya, daun-daun tua sudah pada waktunya untuk beranjak, berguguran satu per satu dalam cabang yang getas, melayang lambat menuju tanah tanpa akasia tua dapat tahan sedetikpun. Akasia tua yang malang kehilangan satu-satunya kehangatan dalam musim gugur yang sudah dingin, bersiap menuju musim dingin yang sebenarnya. Musim terus berganti dan dinginnya sudah mulai tergantikan matahari semi baru yang hangat, Akasia tua yang tergopoh-gopoh bertahan melewati dingin, membuka dirinya yang diterpa matahari dan tersenyum, ranting-rantingnya yang getas, ditumbuhi tunas baru untuk menemaninya melewati musim setahun kedepan.
--



Perihal pertanyaanmu, apa kau berubah semenjak pertemuan pertama di pelarian itu? Ya, kau lebih berseri dengan wudhumu.



Jumat petang, 9 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar