Cerita yang bersamaan ditulis oleh Bunga ( tulisan-bungaf.blogspot.com )
Awan Gembil
Awan bergulir kecil di atas langit Bandung hari ini. Manis seperti biasa, ucapku senyum sambil menurunkan barang bawaan dari bus. Minggu ini adalah minggu yang membahagiakan. Sahabat-sahabat dekat menemukan kebahagiaan yang baru akhir pekan ini. Dan aku juga menemukan sedikit ketenangan dari teriakan ibu kota yang tidak berhenti sepanjang minggu.
Aku membalik handphone beberapa kali berharap segera menerima pesan. Gelisah seperti menunggu undian. Bertemu seseorang yang sudah bertahun-tahun tidak pernah jumpa. Seribu pikiran terbang dan berkelebatan. Seperti apa suaranya? Seperti apa dia sekarang? Apa dia masih setinggi dahulu. Bagaimana dia melihatku sekarang. Apa yang akan dia katakan pertama kali?, bagaimana caranya aku mengenali dia? Bagaimana jika dia tidak mengenaliku? Kadang, aku ingin menampar otakku sendiri karena terlalu banyak memikirkan hal remeh-temeh.
Pertemuan dengan seseorang selalu menyenangkan, siapapun itu. Membukukan kenangan-kenangan baru yang kelak akan dapat merekahkan senyum saat diceritakan kembali. Sama lebarnya dengan senyum di pipi gembilnya saat aku akhirnya bertemu. Angin masih mengalir lemah mendukung ke canggungan pertemuan yang sudah tertunda tujuh tahun lamanya. Dia, masih bunga yang dulu.
--
Ekskul Musik
Udara sedang sejuk dan temaram sore itu, matahari pulang lebih cepat. hujan sudah turun untuk ke tiga kalinya. Jalan berbaur dengan genangan air. Seperti fatamorgana danau di tengah hutan. Lengkap dengan rusa-rusa kecil di tepiannya. Kami bercerita, mengenai celoteh masa kecil. Menikmati detik-detik berharga yang kita hirup bersama. Bukankah aku sudah semakin dewasa sekarang? Bukankah kita sudah sama-sama berubah.
Aku masih mengingat seyum itu sampai sekarang. Saat kita bertemu sabtu pertama kali di ruang kelas sekolah menengah atas. Saat waktu-waktu berlalu dalam ekskul musik. Sudah terpaut enam tahun kan? Sudah terpaut enam tahun juga. Lilin itu menyala dulu. Hadiah ulang tahun darimu adalah kejutan pertama sepanjang hidupku saat itu. Belum pernah ada orang lain yang begitu perduli pada tanggal 4 november.
Hati sering melakukan kesalahan besar untuk melewatkan hal yang sebenarnya berarti. Seperti kepergianku yang kasar. Jauh dilubuk hatiku. Aku berharap ekskul musik itu masih ada hingga kini. Walau tanpa aku sebagai pelatihnya dan kau sebagai muridnya.
--
Hujan Kenangan
Pohon-pohon besar dengan daun kecil terjajar rapi di sepanjang jalan. Lampu-lampu rumah lama peninggalan pembakaran Bandung lautan api yang menjadi kenangan sejarah dulu terasa begitu memikat. Beberapa sudah beralih fungsi menjadi kafe rumahan yang menawarkan kenyamanan dan waktu yang cukup luang untuk membicarakan masa depan. Beberapa masih bertahan dengan fungsi awalnya sebagai hunian tempat membesarkan anak-anak. Sekilas aku membayangkan sepasang suami istri menyalami anak mereka di muka jalan yang langsung menghadap ke trotoar tanpa tembok-tembok tinggi. Penjaja mawar berbaris di pinggir jalan. Kuncup-kuncupnya basah dan murni, Warna putih, merah, dan jingga. Waktu terasa tersekat-sekat dan terbang tipis lembar demi lembar. Waktuku di kota yang menyenangkan ini memang tidak pernah cukup banyak. Bahkan mengingat aku lahir dan kecil disini, masih ada beribu sudut kota Bandung yang minta untuk dikenang.
“Aku takut”, ujarmu. Apa yang sebenarnya harus kau takutkan? “Aku takut akan mengingat ini”. Lalu aku tersenyum. “Kalau begitu, mari membuat sesuatu yang menyenangkan untuk diingat”. Dan hujan masih menyucur, menghitamkan jalan seperti biasa. Kami menepi, mengharapkan hujan memberi kepastian. Namun kami sama seperti matahari yang lebih memilih untuk menyerah. Bersembunyi lebih cepat ke peraduan. Hujan baik, dinginnya selalu menghangatkan. Mencairkan hati-hati yang selama ini kaku. Mengembalikan senyum yang telah terbentuk sekian tahun. dan kami, terdiam di tepian hujan sepanjang sore itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar