Selasa, 25 Februari 2014

Day 8, Gadis Coklat, Biskuit Cokelat, Awan Coklat

Gadis Coklat


Lagu mengalun pelan di ruangan sebuah kafe kecil. Aku duduk di sofa besar yang menghadap keluar kaca sesore ini.  Ditemani sebuah buku biru dan cokelat panas juga empat gempal kecil marshmallow yang mengantri untuk menyeburkan diri kedalam gelas cokelat. Titik-titik air hujan berlomba menuju ke perlabuhan dibawah. Menyisakan siluet daun-daun hijau dan bunga berwarna orange yang basah. Bak akuarium yang penuh oksigen.


Sudut kecil Jakarta cukup membius dengan alunan lagu jazz lawas dan sofa yang nyaman untuk sore hari. Memeluk erat dan menyembuhkan jiwa para pebisnis muda yang masih mencari pengampunan dari uang-uang segar jauh dari kerabat dan keluarga.


“Hari yang menyenangkan”, seorang wanita tiba-tiba datang menghampiri seperti angin di belakang telinga. Aku hanya tersenyum sopan dan melanjutkan membaca. Wanita yang manis, pikirku sekilas sambil membaca baris-baris terakhir sebelum membalikkan halaman buku. Rambut sebahu dengan suits coklat yang sepadan dengan kacamata berlengkung tajam dan senada dengan cangkir kopi yang di genggamnya. Kopi itu begitu cocoknya dengan penampilan sang wanita hingga ku kira dia menggenggam topi bermerk sepasang dengan suitsnya. “baru kerja di sekitar sini?” ucapnya.  Aku menutup buku biruku dan memandang mata hitam dibalik kacamatanya. “iya” ucapku senyum. Dan lampu-lampu temaram ibu kota memudar di kejauhan seperti bokeh kamera yang memudarkan perbincangan dua insan di malam dingin yang terhangatkan itu. Hangat seperti dua anak yang bermain rumah-rumahan di tengah ibu kota. Tanpa beban.


--


20140225-030152 PM.jpg


Biskuit Cokelat


Ditchaan!!,  sapa sekretaris tempatku bekerja dari kejauhan. Aku hanya melambaikan tangan tanpa melepaskan pandangan sedikitpun dari layar komputer dengan setumpuk berkas yang hampir sama tingginya di sebelah kanan. Aku tidak begitu suka nama itu, sungguh. Tapi tak ada waktu untuk berdebat.  aku sedang terfokus pada laporan yang sudah bertumpuk dan minta di perhatikan. Hidup sebagai orang dewasa membutuhkan lebih banyak penahanan. Menahan untuk segera memakan biskuit cokelat di laci sebelum laporan selesai misalnya.  Wangi, aroma dan tekstur dari biskuit cokelat itu sudah ada di ujung rongga mulut. Cokelat yang manis, lembut dan lumer. Rasa yang sama saat aku memeluk tubuh mungil dan melumat bibir manismu di minggu pagi yang dingin itu.


Semakin banyak angka-angka yang kuhitung dan kuketik semakin banyak pula pikiranku tentang biskuit cokelat itu. Semakin berkurang tumpukkan kertas di meja, semakin besar lagi hasrat untuk segera menyentuh biskuit cokelat yang menggoda itu. Aku terus meyakinkan hasratku bahwa aku bisa memakannya nanti, tepat setelah lembar terakhir dari tumpukan di sebelah kanan ini selesai dihitung. Namun pikiranku semakin liar. Kuda-kuda berani ini sedang tidak patuh pada saisnya. Berlari dan melompat entah kemana. Dan aku menyatakan kalah dalam peperangan terhadap diriku sendiri. Aku, memakan biskuit cokelat itu dan mengingat kembali hangatnya kecupanmu.


--


Awan Coklat


Jalan tiba-tiba memudar menjadi hitam. Berangsur dari titik-titik kecil yang ditembakkan langit. Aku menepikan sepedaku ke selasar sebuah toko di pinggir jalan, bersamaan dengan jutaan motor roda dua. Bak semut yang ditimpah hair spray parfum wangi tubuhmu. Aku beringsut ke tepian, Menghangatkan badan dan mengeringkan hati.  Hujan seperti ini sudah sangat umum di Jakarta. Hujan yang turun tanpa tanda dan pertanda. Menyerbu seenak hati seperti hujan pada umumnya namun dengan sedikit tambahan embel-embel. Jakarta terlalu jahat, selalu merebut kiriman dari mana-mana. Dan membagikan banjir kemana-mana juga. Dasar jakarta labil. Umpatku dalam hati. Pasangan muda saling memakaikan gaun hujan depan mata. Mengikat janji untuk saling menguatkan terus melaju menerjang hujan. Demi rumah, bersediakah kau hujan-hujanan bersamaku dalam senang ataupun sedih. Selamanya?


“Semangat sayang, aku akan diam dan bersembunyi malas dibalik pundakmu yang akan kau cucuri ribuan titik hujan”. Kurang lebih seperti itu. Bahasa tubuh yang terlihat dari sang wanita.


“Semua titik harus tersembunyi, tidak boleh kau bertemu hujan sekilaspun. Dengan begitu aku adalah roman yang akan kau peluk sepanjang jalan”. Kurang lebih seperti itu. Bahasa tubuh yang terlihat dari sang pria.


Lalu ada pasangan lain. Yang bergegas turun. Berkelana tanpa persiapan hujan. Mengantongi telepon genggam dan dompet masing-masing kedalam keresek plastik. Lalu berlalu.


Dan aku lebih memilih bersabar. Menunggu hujan sedikit reda agar minimal tidak merasakan pasir yang masuk ke mulut lagi. Imbas dari cipratan hujan yang tak terlindung.


Hujan pasti sangat merindukan awan. Mereka hanya bertemu sebentar, awan akan tetap menunggu dan air akan menjalani perjalanan panjangnya ke perut bumi sebelum pulang dan bertemu kembali awan di kemudian hari. Mereka sama tergesa-gesanya dengan pasangan tanpa persiapan hujan. Tapi mereka sama romantisnya dengan pasangan gaun hujan. Setiap hujan selesai, awan selalu merona-rona. Menunjukkan wajah yang kadang merah malu, kadang coklat padam. Awan memang ciptaan tuhan yang paling romantis. Aku tersenyum, masih sambil beringsut di tepi toko yang dinginnya berkecambah di sekujur punggung.


Photo: bunga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar