Lampu Sepeda
32, 31, 30, 29, 28, aku menghitung mundur lampu merah di perempatan menuju sudirman. Sudah jam sembilan malam kini dan aku mengancingkan windbreakerku lebih atas agar tidak terkena imbas dingin kebencian ibu kota pada warganya. 12, 11, 10, 9, 8 aku mengaitkan cleat sepatu ke pedal sepedaku dan bersiap meluncur. Bekerja siang dan kuliah malam membutuhkan lebih banyak mata. Mata yang tidak mengantuk tentunya. Aku mengayuh sepedaku perlahan, sambil tetap melihat kiri dan kanan. Jika saja ada pengendara yang sembrono dan tergopoh-gopoh menerobos lampu merah. Ini Jakarta, apa yang tidak bisa kau lakukan disini? Disini semua kendaraan adalah ambulan. Semua kendaraan membawa rahasia negara yang teramat sangat penting sekali hingga mereka punya urgensi yang luar biasa untuk melanggar apapun demi tergopoh-gopoh lebih cepat. Atau mungkin mereka hanya kebelet. Tidak beda jauh, intinya jalanan Jakarta seram-pangan.
Jalanan mulai sedikit lengang, maklum jumat malam. Kemacetan sedang disewa untuk tiga hari kedepan oleh kota sebelah, Bandung dan Bogor. Aku bersepeda di sebelah trotoar yang bagus, dengan gedung-gedung tinggi sebagai latar belakangnya. Tidak ada rumput hijau, hanya ada lantai-lantai cemerlang yang dibekam kaca tebal dan disenyumi lampu. Aku melukiskan senyum biasaku sambil berhenti menoleh, mencoba fokus dengan garis lurus jalanan, melakukan shifting dan melaju lebih cepat. Baru ingat sedang kelaparan sejak pagi tidak menemukan apapun untuk dikunyah.
Sampai di kotak kaca yang lebih kecil dengan polet merah. Kotak kaca ini seperti ikan asin. Menarik siapapun ke dekatnya untuk hinggap seperti lalat. Siapapun yang hinggap dan berlama-lama adalah gaul. “selamat malam, selamat datang di mini-market, selamat berbelanja” ucap sang penjaga toko dengan senyum dan gestur badan yang siap menerkam untuk memeluk. Aku mengangguk, tersenyum sedetik dan menundukkan kepala. Bersembunyi di balik helm Bern biru muda. Segera mengambil satu buah roti sari robek cokelat dan minuman kalengan kecil bernama besar lalu menyerahkannya ke penjaga toko. “Seperti biasa ya mas? Roti dan kola, semuanya delapan belas ribu, ada kartu membernya? Mau pulsanya sekalian?” aku hanya menggelengkan kepala sambil menyinggungkan bibir ke atas tapi bukan senyum. Setiap hari membeli barang yang sama dan pertanyaannya selalu sama. Mereka benar-benar tidak belajar atau memang mereka hanya diprogram untuk mengucapkan kalimat itu. Setelah membayar aku kembali ke sepeda, menyalakan safety light dan pulang menuju kontrakan di tepian kota Jakarta. Menggantungkan titik lampu kecil di kepala dan pantat. Jika saja ada pengendara yang sembrono dan tergopoh-gopoh menyeruduk sepeda.
--
Atap Bulan
Klang, botol kaleng minuman soda bergulir-gulir dari atas genteng dan terjatuh tepat di depan koridor rumah kontrakanku di tepian kota Jakarta. Aku sedang duduk menikmati malam angin di puncak gentengnya, sambil menikmati roti sobek dan minuman kalengan ditemani lagu-lagu yang baru saja diunggah di soundcloud. Dasar anak asuhan minimarket. Di kejauhan, bulan terlihat lebih lebar dan bintang terlihat lebih acak. Aturan-aturan zodiak tidak nampak begitu ada hari ini.
Aku memejamkan mata, menunggu angin memeluk tubuh kecil dan membelai rambut hitamku. Suaranya menentramkan, kesemrawutan ibu kota terdengar sayup di telinga. Rentetan klakson kendaraan, suara sirine, deruan kereta api disisi rel yang merayap naik menuju kota, Pengumuman dan himbauan di sekitar stasiun. Cerobong asap berisik yang warnanya seperti permen. Semua tersublim rapi dengan datangnya angin. Di kejauhan gedung-gedung tinggi tampil sebagai api yang terlihat canggih tak habis-habisnya. Lampu-lampu menara merah berkedip kecil menandakan tunggu pada pesawat yang lewat. Rangkaian lampu panjang di kejauhan merayap manja menuju stasiun di bagian bawah dan insan seperti semut keluar tergesa-gesa dari rangkaian lampunya. Semua kesibukan malam di jakarta itu, seolah terbisukan oleh datangnya angin. Menyisakan dingin yang menyeruak keluar dari dada dan memudar seperti asap.
Aku kesepian, tertinggal duduk sendiri di atas genteng rumah yang tak terjangkau kecuali oleh kucing. Masih memakan roti sobek dan minuman kalengan ditemani lagu-lagu yang baru saja di unggah di soundcloud. Dasar anak asuhan minimarket. Di kejauhan, bulan terlihat semakin lebar dan bintang memicingkan mata. Seolah menyorot dan menghakimi kesalahanku atas kesendirian dari kejauhan.
--
Perpustakaan Terapung
Jam 5 tepat alarm berbunyi, menyentakkan bantal dan selimut yang melindungiku dari monster di bawah tempat tidur. Jika saja aku punya tempat tidur tentunya. Jam 5 pagi di hari sabtu? Yang benar saja. Bahkan handphone yang sombong dengan alarmnya pun menuntut kewajiban atasku. Hari sabtu adalah hari bercinta. Jika saja aku punya cinta tentunya. Jika tidak. Perpustakaan pusat mungkin sudah cukup menghibur. Butuh waktu tiga jam hingga aku bangun dari tempat tidur dan berangkat menuju perpustakaan.
Universitas kuning tempatku membayar iuran memiliki perpustakaan yang katanya “ter”. Bagiku, hanya tempat nyaman seperti rumah telletubies dengan ukuran skala lima puluh kali lebih besar yang letaknya tepat di pinggir danau seberang balairung. Tempatnya menyenangkan. Kaca dan pohon seakan memang serasi hidup bersama sejak awal disini. Lantai-lantai kayu modern yang berdecit dan lampu terang yang sedikit redup dibandingkan cahaya di luar kaca turut menghangatkan keadaan di dalam. Oh, jangan lupakan kenangan, terutama kenangan. Perpustakan “ter” ini telah membukukan beberapa kenangan di hati sebelah kananku. Dan kenangan ini, yang selama ini terus hidup dan terus membuatku berada di tempat yang sama setiap minggunya. Tempat favoritku itu adalah lantai 4. Lantai dengan lantai kayu yang paling cokelat, ruang baca paling tinggi, dan paling dingin ACnya. Seorang teman pernah bertanya. “Kenapa kau selalu ada di lantai 4 setiap minggu? Masih banyak lantai-lantai lain yang lebih cokelat dan lebih mudah di jangkau untuk di ramaikan”. jawabanku singkat. “Aku suka pemandangan danaunya dari sini, dari atas lantai kayu berdecitnya”. Dan temanku berlalu tanpa memberi tampikan atas alasan tadi.
Jadi begitulah, aku menghabiskan akhir pekanku bersama tumpukan buku dan novel tahun 2000 yang setengah usang. Membawa setoples cokelat, Mengisi meja perpustakaan dua kursi sendirian dan bersembunyi. Setidaknya hingga jam tiga aku selalu tenang. Tersenyum sambil memperhatikan daun yang bergerak-gerak. Dan menerka bahwa itu perbuatan angin.
--
Picture by: sebastien Millon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar