Senin, 18 November 2013

Parlour Kita di Paris




Selamat pagi yang dingin! Aku mengalungkan syal tebal berwarna cokelat muda yang senada dengan boot salju dan topi hari ini. Tak lupa sarung tangan woll berbulu yang dapat di kalungkan. Prancis dingin hari ini dengan salju yang menggembul manis bertengger di setiap pohon. Seperti gula-gula kapas yang di jual saat perayaan musim panas, namun versi lebih dinginnya.

Aku menggandeng sepeda yang sudah setengah beku karena kutinggalkan di luar semalaman. “Cette journee va etre froid, mieux obtenir un chocolat chaud” (hari ini akan dingin, sebaiknya aku membeli cokelat panas) ucapku bersemangat hingga kepulan udara dingin terbang dari mulut seperti cerobong asap kereta uap sepuluh gerbong di pertengahan musim. 

Perjalanan menuju kantor memerlukan waktu sekitar tiga puluh menit dengan sepeda dari Grenelle daerah tempatku tinggal. Oke, empat puluh menit dengan udara dan salju sedingin ini. Mungkin tiga puluh lima menit jika aku dapat segera sampai di Parlour yang menjual cokelat panas kesukaanku terlebih dahulu. 

Sepeda selalu menyenangkan digunakan kapanpun. Kecuali saat musim dingin dan kau tidak punya roda dengan grip khusus salju seperti yang dimiliki tetanggaku. Kadar kesenangannya berkurang dua puluh persen. Tapi tetap menyenangkan.

Menara Eiffel terlihat hambar dan abu-abu hari ini. Mungkin akibat kabut, lebih mirip seperti cone es krim terbalik daripada sebuah menara. Sepedaku berjalan di atas salju lembut pada bike lane yang sedikit sepi, hanya beberapa pengendara yang bepergian hari ini. Mungkin terlalu dini keluar di kepagian hari. Aku berbelok menuju Parlour cokelat favoritku di kota ini.

Bentuk Parlour ini menyenangkan. Senada dengan bangunan kota lain yang memiliki berlusin-lusin jendela dan lurik ukir di setiap sudut bangunannya. Imajinasi terbaik yang dapat kalian bayangkan. Parlour ini Seperti bar dengan kanopi serta tempat duduk berbentuk sofa di luar dan di dalam. Ruangannya terbuat dari bata susun cokelat tua yang tidak di plester dan lantai kayu yang sedikit berdecit. Lampu-lampu kuning temaram tertempel di dindingnya kontras dengan perapian di tengah Parlour yang menyambut pengunjung dengan kehangatan rumah. Tidak ketinggalan lukisan-lukisan tua beberapa sudut kota paris, mulai dari potret pembangunan jembatan Pont des Arts yang kini penuh dengan gembok-gembok cinta hingga pancang pertama menara Eiffel yang dibangun tahun 1887.

Ada beberapa pengunjung selain aku di dalam. Mereka menikmati dinginnya pagi dengan moccachino latte dan chocolate truffle sambil berbincang. “Mari sedikit tidak mainstream” Ujarku seraya memesan coklat panas dengan kayu manis serta whipped cream di atasnya juga French toast dan berbulir-bulir dark chocolate seperti amunisi. Aku menunggu di bagian luar sambil mengirim pesan singkat di telepon genggam.

Awan musim dingin menyenangkan untuk dilihat. Lebih putih dan lebih bersih. Satu hal yang tidak akan kau temukan dimanapun. Awan-awan disini terlihat lebih angkuh, karena mungkin lebih sering dilihat dan di lukis. Mereka juga sepertinya tidak berubah, dari potret yang ada di dalam Parlour dengan yang ada di atas sana. Mereka sama-sama gembil dan angkuh bak artis opera yang dilempar delapan ikat bunga sekaligus dalam satu pagelaran. Angkuh dan layak dipuja mungkin kata yang tepat.

Sebagai seorang perantau di negeri yang bahkan tidak pernah terpikir akan bermukim selama bertahun-tahun aku cukup dapat bertahan. Ya, bertahan hidup dengan chocolate truffle dan French toast juga kudapan manis lainnya.

Aku sedang menyesap hot chocolateku saat dia datang. Wanita berambut hitam pendek dengan bola mata yang sama-sama hitam. Datang menggunakan dutch bike yang manis dengan keranjang rotan penuh bunga di bagian depan. Dia menghampiri dan duduk tepat di hadapanku.

Wanita itu bernama Tiva, dia adalah penjual bunga di sekitaran Ile de la Cité. Sebuah kawasan penjual bunga, burung dan hewan peliharaan yang menyenangkan di sektaran Paris. Berpaving blok putih bak tahun 1990 dimana bunga-bunga bermekaran dan keluarga-keluarga kecil berjalan bahagia sambil bersenda gurau mengenai binatang piaraan apa yang paling mirip dengan ayahnya.

Aku selalu berbincang dengannya setiap senin pagi di Parlour ini. Dia adalah wanita kelahiran Praha, Republik Ceko dua puluh lima tahun yang lalu. Terpaut dua tahun lebih tua denganku yang baru berulang tahun kemarin. Kami sering membincangkan bagaimana hidup di Paris berjalan, saling memberi semangat dan menguatkan hati. Sebagai orang yang sama-sama perantauan dan hidup sendirian di Negara yang dicap paling romantis tapi juga keras. “Comment etes-vous garcon d’anniversaire?” (apa kabar bocah yang baru ulang tahun?) Ucapnya sambil melempar satu bulir coklat ke dalam mulutnya. “Merci, je vais bien” (terima kasih, aku baik). Sambil tersenyum dia membuka buku menu dan memesan sesuatu yang telah dapat ku terka sebelumnya. Chocolate truffle dan Barley mint tea tanpa gula. Nampaknya semua orang disini memang menyukai Chocolate truffle. Tapi, mungkin hanya dia yang senang memesan Barley mint tea tanpa gula.

Banyak hal yang dapat dipelajari dari Tiva. Satu yang menarik, dia adalah wanita yang paling senang duduk. Duduk dimana pun, entah itu bangku di shelter bus, seat di trem, observer deck di menara Eiffel, sofa di wallmart, bangku di taman Tuileries. Dia duduk hampir di semua tempat, walau hanya untuk satu sampai dua menit. Aku pernah tidak mengerti dengan kebiasaan tersebut sampai suatu saat dia menjelaskan. Menurutnya duduk itu seperti sebuah tombol pause. Saat duduk dia keluar dari semua kegiatan dan Suasana yang berlangsung di sekitarnya. Keluar dan berganti dari pemain menjadi seorang penonton. Berganti paradigma tepatnya. Saat berjalan yang aku lihat adalah orang-orang yang sibuk dan berjalan cepat pulang dari kantor tanpa menghiraukan apapun. Saat duduk yang aku lihat adalah orang-orang yang damai dan bahagia bergegas pergi ke rumah mereka yang hangat. Membawa hadiah untuk anaknya.

Menyenangkan duduk di pinggir sungai dan memperhatikan burung-burung camar bersenda gurau. Menikmati terpaan angin yang searah dengan gerakan segumulan awan. Awan yang angkuh. Menyenangkan duduk di tengah taman. Memperhatikan daun-daun cokelat dan merah berguguran putus dari tangkainya. Tangkai yang tua dan kosong. Menyenangkan duduk di peron stasiun dan memperhatikan orang-orang berlalu lalang. Meninggalkan dan ditinggalkan. Menitipkan cinta masing-masing. Menyenangkan duduk di cubicle kantor dan mendengarkan dering bunyi telepon. Memperhatikan setiap sisi kesibukan kantor. Kantor yang hangat dan terang.

Kelak, saat kalian duduk dan tersadar akan tulisan ini. Pejamkanlah mata, tarik nafas sejenak dan buka pemandangan baru dari rutinitas kalian. Sebenarnya, duina itu sesuatu yang indah jika dilihat dari sudut yang tepat. Duduk, adalah sudut yang sebenarnya kalian cari.

Jadi inilah kami, duduk di awal dinginnya hari. Berbincang dan bergurau. Menikmati pemandangan yang aku yakin suatu saat menjadi langka. Hot chocolateku sudah dingin saat kami memutuskan pergi dan bertemu minggu depan di sofa yang sama. Pemandangan di sofa itu, adalah yang terindah yang bisa aku lihat. Tidak Eiffel, tidak Tuileries, tidak Ile de la Cité. Pemandangan itu, Dia. Si wanita berambut hitam pendek dengan bola mata yang sama-sama hitam.

2 komentar:

  1. Wuiiiiiiiiiiiiiiiii asyikmya yang beradadi PARIS (Perancis). Kalau nda salah Fatin Shiqqia Lubis (X Factor) bikin rekaman video musiknya di PARIS (PErancis) juga. Saya sudah liat videonya. Eh kamu suka Fatin nda? Hiheiheiheihieee.

    BalasHapus
  2. Pejamkanlah mata, tarik nafas sejenak dan buka pemandangan baru dari rutinitas kalian >> touch

    BalasHapus