Chocohazel_
Sabtu sore ini aku bergegas, merapikan pakaian dan duduk di barisan penonton terdepan dengan mawar di pangkuan. Konser orkestra sudah akan dimulai. Dia, wanita cantik itu berdiri di ambang pintu, menatapku ringan. Aku menghampirinya. Memberikan dia seikat semangat sebelum memulai konsernya.
Dia terlihat cantik sore itu. Tanpa pondasi yang berlebihan. Hanya lipstik yang agak janggal kulihat. Gaun hitam yang senada sepatu. Dan perangainya yang lebih dewasa. Sepanjang aku bersamanya, ini hari pertama dan mungkin hari terakhir melihatnya tampil cantik seperti ini.
Terlepas dari makara putih hijaunya, terlepas dari jas putih kedokterannya. Terlepas dari Matanya yang tipis saat memperhatikan sesuatu. Dia adalah sosok wanita yang baik namun kuat. Dia benar benar pekerja keras yang terus berusaha berlari mengimbangi rekan rekannya. Berasumsi bahwa dirinya tidak tahu apa-apa namun menyerap paling banyak di kelas. Merampungkan praktikum kedokteran gigi yang menguras hati, dua kali lipat dari yang lain. Walau terkadang jatuh, dia tidak pernah memintaku untuk membantunya bangkit. Dia selalu bangkit sendiri. Dan aku selalu disana. Melihatnya tersenyum dan berkata aku baik baik saja.
Hari ini, dia berada di depan ku. Sebagai seorang musisi, Sebagai seorang concert mistress. Bukan sebagai seorang kekasih sebagaimana biasanya. Sosoknya yang kini tepat 15cm di depanku, terasa memiliki jarak yang jauh. Jarak dari dampak hubungan kita, tembok yang menahanku untuk membelainya seperti biasa. Aku membuka senyumku. Senyum yang biasa dia temukan. Memberinya semangat dan belaian terakhir di rambut.
Aku kembali ke kursi seperti seseorang yang telah berlari puluhan kilo. Menghempaskan badanku di kursi cukup kencang hingga mawar yang kupersiapkan berguncang sedikit. Berusaha tenang sambil memegang buku konser. Memandangi wajahnya di profil buku. Lalu lampu perlahan temaram dan setelah itu gelap.
Konser dimulai, semua pemain telah masuk kecuali conductor dan concert mistress. Aku tidak cemas. Terakhir kali kami tampil bersama, dia punya pengendalian diri yang baik di belakang panggung.
Lalu wanita itu masuk, melakukan pengecekan suara semua pemain dengan cara menyapukan biolanya. Hatiku berdegup. Apakah dia wanita yang sama dengan yang selalu ku temui setiap sabtu? Wanita yang sama yang selalu ku tunggu di stasiun dekat kampus? Wanita yang selalu iri dengan lipatan mataku? Wanita yang selalu berlari dengan cara yang lucu menghampiri saat melihatku? Apakah tangan itu, tangan yang sedang menghasilkan nada itu adalah tangan yang sama dengan tangan yang selalu ku genggam saat cemas dulu? Tangan yang selalu ku buat mainan untuk menunjukkan sesuatu?
Aku tidak yakin. Aku berkaca-kaca. Sepanjang konser, dia adalah sosok wanita terindah yang kulihat. Dia cemerlang dan cantik dengan musiknya. Maka wajar jika tuhan menurunkan musik sebagai anugerah Dan orkestra sebagai musik paling agung telah mempertebalnya. Caranya memainkan biola dengan anggun. Gerakan yang halus pertanda pianosisimo. Lirikannya menuju partitur di sepanjang lagu. Dia memang cantik dengan dunianya. Dunia yang selama ini aku, kekasihnya abaikan.
Sepanjang perjalanan kami. Wanita itu selalu membawa serta dunianya. Membawa biola bercase hitamnya kemanapun. Saat kami berkomitmen, biola itu ada disitu. Saat sedang kencan Biola itu selalu ada bersama kami. Biola itu sering jadi tempat persembunyian hadiah-hadiahku agar dapat sampai selamat ke apartmentnya. Biola itu yang pertama kalinya kami lindungi jika hujan. Bahkan saat di satu restoran, monthversary kami. Biola itu ada di samping kami. Bahkan saat tangan kami sedang penuh memesan makanan, biola itu ada di pundaknya terkadang juga di pundakku. Bahkan saat berpegangan tangan, biola itu ada diantara jemari kami berdua.
Yang kini aku sesali adalah aku tidak pernah mencoba atau berusaha untuk membuka dunia tersebut. Dunia dimana dia adalah bidadarinya. Dunia dimana pertama kali aku terpesona melihatnya, dan memutuskan untuk mendampinginya. Namun setelah memulai perjalanan aku memutuskan untuk menggantung stick dan menutup rapat-rapat dunia musikku. Dunia nya. Dunia yang membuat kita sama.
Wanita itu, tidak pernah mempertanyakan keputusanku. Dia mengerti sepenuhnya, setidaknya itu yang dia ucapkan. Kerap kali aku sering cemburu dengan musik itu. Menyita hampir seluruh waktunya. Dia dengan biolanya dan aku dengan perkusi ku. Hanya itu masalah yang sering kami ributkan sepanjang perjalanan kami. Tidak ada ketidakpercayaan, tidak ada orang ke tiga. Tidak ada apapun. Kami bercinta bertiga dengan musik.
Aku adalah orang yang mungkin paling menyesal telah kehilangan wanita itu. Kehilangan dia dari sisi hati. Karena waktu perjanjian kami mungkin telah tiba. Persimpangan besar yang sejak awal kami takutkan. Ujung jalan yang akan memisahkan kita kedua jalur benar yang berbeda. Kita pernah sepakat. Suatu saat nanti kita akan saling mencarikan. Saling mencari dan berdiskusi mengenai pendamping yang tepat untuk masing-masing dari kita. Dan mengambil keputusan siapa yang terbaik untuk siapa. Kita akan sama-sama melantunkan kebahagiaan. Di nada yang berbeda. Alat musik yang berbeda. Dalam lagu yang sama.
Kita tidak meneteskan air mata saat itu. Namun aku yakin. Jauh di dalam sana. Jauh di lubuk hati sana. Ada sesuatu yang perlahan teriris. Keinginan untuk bersama itu kita korbankan untuk kebahagiaan masing-masing. Apa kita egois?
Continue part 2
Hey, Dokter gigi kecil :)
Salam buat ngikngok ya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar