24 Juli 2013 satu bulan lebih setelah pengejaran awan di Bandung dan kembali ke ibu kota.
“Tiga ribu pak” ujar sang petugas Commuter Line. Dan kubayar dengan uang pas sambil mengguratkan sedikit senyum. Seperti biasa, senyum yang dipaksakan. Aku berjalan melewati peron kereta tanpa sepatah katapun. Melindungi diri dengan earphone dari sergapan lingkungan luar. Baik, aku memang lebih nyaman berada di lingkungan pribadiku dibandingkan berinteraksi dengan kebanyakan orang, butuh waktu lima belas menit hingga kereta menuju jakarta kota tiba, aku melepas earphone, masuk ke gerbong kereta dan melindungi diri kembali menggunakan earphone.
Menggunakan earphone telah menjadi sebuah kewajiban untuk beberapa gelintir orang di Ibu Kota. Earphone, benda kecil yang terbuat dari jumputan kabel dan plastik itu melindungi kita, melindungi dari interaksi kejahatan, meindungi kita dari kewajiban untuk perduli terhadap publik. melindungi kita dari berbagai hal yang menjurus kepada ketidaknyamanan. Ya, earphone sejatinya adalah simbol kenyamanan yang paling mudah dan murah.
Cikini, Cikini, Cikini. Sebuah pengeras suara lemah yang dipasang dalam gerbong sebagai prestasi dari kenaikan harga sayup terdengar, dan beruntungnya aku, dibawah earphone ku yang nyaman masih dapat mendengarnya. Salah turun Stasiun menjadi perkara yang tidak mudah di sistem perkeretaapian jaman sekarang. Jadi, aku tidak mau berurusan dengan semua perkara itu. Cukup! Pikirku dalam hati sambil menuruni eskalator Stasiun yang bertingkat seperti sarang burung. Aku nampaknya satu dari beberapa orang yang sering memaki pikirannya sendiri. Pikiranku seperti yang sudah kalian tahu dari 6 tulisan sebelum ini, punya baterainya sendiri yang kadang pernah kupikir untuk memberinya sakelar on-off.
Sampai bawah, seperti biasa semua penumpang dijamu dan disambut seperti artis oleh paparazzi yang bertanya bertubi-tubi menawarkan jasa angkutan motor, bak artis yang terjerat perselingkuhan dan aku, seperti biasa memasang senyum yang dipaksakan sebagai ganti papan reklame bertuliskan “tidak, aku tidak naik ojek, terima kasih.”. Kampus UI Salemba bisa dicapai dengan jalan kaki. Jadi aku tidak mau terlalu merepotkan bapak-bapak ini.
Jalan dari Cikini ke kampus UI Salemba melewati sebuah Pasar keanekaragaman. Ya beraneka ragam karena Pasar ini juga berfungsi sebagai rumah bagi para penjualnya. Jadi barang yang dijual pagi akan sangat berbeda dengan barang yang dijual sore hari. Meskipun pagi-sore pembeli dan penjualnya adalah orang-orang yang nyaris sama.
Aku berjalan empat kali lebih lambat dari bisanya, menikmati keanekaragaman yang ada seperti slow motion dalam Museum. Dan aku menyalakan sakelar pikiran ku, Jika memang ada. Mulai mengalirkan pikiran-pikiran yang brilian hanya untukku, apakah orang-orang ini bahagia dengan kehidupannya? apakah dengan menjual roti imut mereka bahagia? Apakah, orang yang berlalu-lalang di pasar ini, semua bahagia? Tidak, minimal setengah dari mereka, apakah mereka bahagia? ataukah mereka bahagia karena dapat bertahan hidup dan Bukan bahagia akan pekerjaan atau profesi yang mereka jalani?
Aku yakin mereka memiliki alasan masing-masing. Aku ingin sekali bertanya kepada mereka satu per satu, namun aku sedang tidak dalam kapasitas untuk bertanya. Tidak untuk saat ini. Aku sendiri masih mempertanyakan apakah aku bahagia? Atau apakah aku sedang dalam pengejaran menuju kebahagiaan? Apakah mengejar awan yang ku cita-citakan selama belasan tahun itu sebuah tujuan?
Dan pertanyaan yang paling menakutkan adalah:
“Apa aku akan bahagia setelah menemukan awan itu?”
menurutku, memiliki suatu keinginan itu sudah suatu kebahagiaan. iya nggak? pernah nonton tangled? si rambut pirang bertanya apa ia akan bahagia setelah melihat ribuan lentera impiannya. teman perjalanannya bertanya balik, "apa itu jadi masalah? kalaupun tidak, kamu masih bisa temukan keinginan barumu"
BalasHapusTentu, kau akan bahagia. Karena itu adalah suatu imbalan dari usaha keras yang kau lakukan untuk meraih mimpi itu.
BalasHapusSetuju sama yang diatas saya. Tangled! ^^