Angin di Minggu Terakhir
Minggu pagi, suasana sekitar ITB riuh seperti biasa, orang-orang tumpah ruah dijalanan berkedok euforia Car Free Day. Atau sering kusebut kawasan pamer. Wanita-wanita memamerkan paha dan dadanya, Pria-Pria memamerkan Kaca mata riben dan kaos hippie, sambil berjalan menenteng gadget di tengah jalan Dago yang penuh dengan makanan dan kawan sejenis mereka.
Bukankah ini hanya seperti Miniatur Ibu kota yang sengaja dibawa anak-anak bermobil plat B? Ya. Bandung saat weekend menjadi hal yang menyebalkan bagi penduduk sekitar, sepanjang jalan di jejali oleh kendaraan luar kota yang tidak jarang lupa membawa isi kepalanya. Outlet-outlet digerumuti oleh anak-anak gaul, lengkap dengan DSLR untuk selca, dengan pola yang melulu itu-itu saja. Suasana hedonisme yang selama ini ku hindari, ternyata sudah merambat dan menancap jauh ke euforia weekend Kota kelahiranku.
Aku menulis ini, di tengah kerumunan orang-oarng yang berlalu lalang, tertunduk pada layar pintar masing-masing sambil berpegangan tangan menikmati indahnya kota Bandung. Kali ini aku harus protes, Bukan seperti itu caranya menikmati Kota Bandung, bukan itu caranya membuat sebuah liburan menjadi sesuatu yang berkesan, Bukan dengan foto-foto resolusi tinggi yang instant di upload melalui Path setiap detiknya, bukan dengan memotret makanan dan dengan teliti membubuhi hastag, bukan juga dengan menandai semua tempat sebagai check in di foursquare. Cara menikmati sebuah liburan adalah dengan tenggelam di dalamnya, hanyut pada kota, menikmati perasaan bebas dan penasaran, menikmati jalan-jalan di pinggir jalan Braga sambil bercengkrama bersama keluarga atau orang yang kalian ingin kita genggam erat tangannya. Menyantap makanan yang walau tidak mahal tapi enak, Atau menyusuri TAHURA Juanda sambil bercerita beberapa kisah mengenai mitos pamali jaman dulu. Ingatan itu, kenangan itu, perasaan itu, terletak jauh di dalam hati kalian, bukan di layar seukuran empat inchi yang kerap kita sentuh. Jika kita berlibur dengan benar, saat kita kembali kita akan merasakan kenangan itu hidup kembali, menghangatkan dada.
Suatu saat nanti kita akan menyesal, menghabiskan waktu di kota paling indah hanya melalui sebuah layar.
Daun Kupu-kupu
Minggu sore, aku sedang duduk di bawah pohon mahogani dan daun kupu-kupu depan sekretariat GB ITB, ditemani sebuah buku, beberapa wafer, minuman kemasan, dan suara tonggeret. Angin menerpa berirama dan bunyi gesekan daun membawa suasana tenang yang memabukkan. Sudah sangat lama semenjak terakhir kali aku membaca di bawan pohon dan gugusan awan yang terbuka lebar. Aku masih berusaha keras mengingat apa kali itu adalah kali yang sama saat aku melihat gugusan awan yang cantik itu, yang mungkin belasan tahun lalu? tapi seberapa keras pun aku tidak mengingat apa-apa kecuali perasaan nyaman yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar