Sabtu, 27 April 2013

Day 2: Bandung, Toko awan, dan kertas

Day 2 (27 April 2013.)

Bandung dan Mahogani

"I am always searching somewhere for you 
Opposite of the house, the other side of the alley's window 
Even though I know you won't be here 
If my wish is to be granted, please bring me to you right now 
Betting and embracing everything  
To show you there's nothing else I can do"

tiiiiiiit!!!, sebuah mobil menyambar sisi kanan sepedaku, Aku bergegas melepas earphone dan melambaikan tangan tanda meminta maaf karena bersepeda sambil melamun. Lagu itu, Beberapa tahun yang lalu adalah lagu yang sama yang menemaniku bersepeda di sepanjang jalan Dago. Dan hari ini, Sabtu pagi Aku mengulangi hal yang sama secara persis.

Bagi orang-orang Audio sepertiku, beberapa lagu, yang entah sengaja atau tidak kudengarkan akan sangat mungkin menyimpan kenangan terhadap sesuatu hal. Mau atau tidak mau suatu saat nanti saat lagu tersebut diulang aku akan mendapati bayangan, angan dan asa yang pernah terjadi, semua hal mengenai kenangan itu terpilin rapi dalam tangga  nada yang disusun secara cermat. Menurutku, sebenarnya musik sendiri sudah sangat lengkap pada zaman musik klasik berjaya, musik telah dapat mengekspresikan kegembiraan, pun kesedihan, dan kita kini hanya dapat mengaransemen ulang rasa-rasa tersebut dalam bentuk yang lebih baru, lebih segar, sebagai bukti bahwa pernah ada mahakarya musik yang meninggalkan kita.

Secara tidak sadar, musik adalah pengulangan dari ribuan kenangan yang ditinggalkan oleh sang pencipta. Agar mahluknya mengerti bahwa dunia bertahan hidup melalui serangkaian kenangan dan harapan.


Cerita Toko Awan

IMG_2331[1]
Bandrek, Ketan kelapa dan tahu isi, tampak tidak spesial mungkin. Tapi, jika kau tahu untuk dapat menikmati sarapan ini aku telah mendaki jalur curam ke puncak Bandung di sabtu pagi, kau akan merasa bahwa makanan sederhana ini istimewa. Warban, warung itu biasa disebut, untuk para veteran sepeda di wilayah Bandung, mungkin tempat ini merupakan tempat wajib yang disinggahi setiap minggunya. Aku sendiri lebih senang memanggilnya toko awan, karena lokasinya yang jauh di puncak gunung dan terpencil serta sulit dicapai. Hal tersebut yang membuat makanan dan minuman disini penuh kebanggaan. Sebuah kebanggaan tersendiri dihadiahi makanan sederhana ini setelah melewati rintangan-rintangan sepanjang perjalanan, sebut saja tanjakan putus asa, lembah, dan jalur curam, selain sulit dicapai, jalur bersepeda ini juga membebaskan, entah apa alasan yang tepat, tapi jalur ini selalu membebaskan.


Berbicara mengenai sepeda, sepeda sendiri merupakan kendaraan paling egois diantara kendaraan lain, mereka penyendiri, tak mau berbagi, namun untukku sepeda adalah sebuah tanda kebebasan yang paling tinggi. Dengan sepeda kita tak perlu berurusan dengan pemerintah, atau bensin yang harganya semakin lama semakin tidak karuan, juga tidak perlu berurusan dengan kesemrawutan lalu lintas, dan sempurnanya, orang lain atau kendaraan lain tidak pernah memperhatikan sepeda, entah apapun yang kau lakukan diatas sepeda, tertawa atau menangis, diatas sepeda akumenjelma menjadi mahluk sosial yang merasa tidak harus bertenggang rasa. Setiap kali merasa sedih atau bahagia, aku akan melompat ke atas sepeda dan berkeliling kota. Itulah alasan mengapa selama ini aku gemar bersepeda.



Melipat Kertas

"Yaudah daftar aja, tiga puluh ribu doang". ujar seorang kawan dari belakang melihatku membolak balik situs titian karir di Kampus gajah, sesungguhnya bukan masalah uang tiga puluh ribu itu yang kukhawatirkan, atau masalah CVku yang belum terupdate pasca lulus, atau masalah nilai standar masuk yang terasa cukuo mencekik bagi nilaiku yang pas-pasan. Semua orang disini mengantri, berbaris rapi dengan terpaksa, dan begitu tiba di ujung antrian semua orang ini dikenal melalui kertas yang mereka bawa, sang penjaga bahkan enggan melihat wajah sang pengantri, yang penting adalah kertas yang dibawa pengantri tersebut sah. Itukan sejatinya kita? seberkas kertas yang mudah robek? Kertas yang sama-sama putih dan persegi panjang? Tanpa ada perbedaan sama sekali? Munafik kah jika aku berpendapat tidak? Coba lihat apa sebenarnya yang sebenarnya kita lakukan setiap hari, murid mencari kertas ujian, Mahasiswa mencari kertas lulus, Pekerja mencari kertas rekomendasi, lalu bagaimana bisa kalian membantah bahwa sesungguhnya kita tidak lebih dari lembaran kertas?

Tidak, aku tidak membantah. Aku pun sama seperti kalian, tidak lebih dari selembar kertas. Tapi jadi apa kertas itu suatu saat kelak, tidak akan ada yang benar-benar tahu, kita masih saling melipat, membentuk kertas kita masing-masing. Tidak ada yang perlu kalian takutkan juga, kertasku hanya akan menjadi kapal terbang kecil, yang bercita-cita melihat awan dikemudian hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar