pundak
Kari keempat, senin pagi burung-burung berkicau mengantarkan para pekerja dan pelajar ke sarang masing-masing. Bandung adalah kota menyenangkan yang bahkan tidak memberiku alasan untuk membuat sebuah tweet mengenai hate monday. Aku sedang mengikat sepatuku saat itu, meninggalkan kawanku yang masih bergeliut dalam sleeping bag berwarna hitam. Aku pergi, bukan untuk mencapai sarang seperti orang kebanyakan hari ini. Aku akan pergi menuju suatu tempat dimana nafasku tidak akan terbentur tembok seperti biasanya, tempat dimana burung bebas menukil, dan kerbau berlarian, lengkap dengan angin yang pasang surut, tempat yang 26 kilometer jauhnya dari pusat kota, Aku menyebutnya Borderless Village, karena setiap kali menggunakan kereta untuk pulang, aku melihat hamparan padi yang sangat luas di luar jendela, hingga nyaris menyentuh ujung langit, disana terdapat satu desa kecil, desa yang menjadi tujuan hari ini.
Maka, begitulah aku yang tanpa tujuan meninggalkan sosok pundaknya dibawah kerindangan hutan kota menuju tempat yang bahkan tidak pernah di datanginya.
--
Sarang Burung
Sepanjang jalan aku melihat beberapa penjual sangkar burung, tidak heran memang melihat penjual burung yang berlalu lalang, berkicau tidak kalah dengan burung yang dijualnya. Burung itu, kenangan itu, secara tiba-tiba menerjunkan ke dalam lamunan, mengingat peristiwa yang sudah terpilin rapih belasan tahun lalu.
"Mas, beli sangkar burung. Yang agak besaran ada?" Ujar ayahku
"Ada, buat burung apa pak?" Jawab penjual burung sigap.
"Burung cangkurileung, kemarin ada burung jatuh di depan rumah, sangkar punya saya sekarang kekecilan, saya mau beli yang agak besar." Cerita ayahku singkat sambil melirik-lirik sangkar.
"Yang ini berapa?" Tunjuk ayahku sambil memegang sangkar yang berukuran empat kali dus mie instan.
"Yah itu bukan sangkar buat cangkurileung. Itu buat kenari" ucap sang penjual.
"Yang buat cangkurileung ini" sambil menunjuk sangkar kecil yang seukuran dua dus mie instant.
"Sangkar kan ada peruntukannya pak, kalau buat cangkurileung ya itu" ucap sang penjual ketus.
Lalu kami berjalan meninggalkan penjual sarang burung itu tanpa satu patah kata pun.
Perlu beberapa tahun untukku mengerti maksud sikap ayah, manusia terkadang bertingkah seolah tahu apa yang terbaik bagi mahluk lain, sering egois dan tidak peka, merasa tahu yang paling benar. Apakah burung yang berbeda jenis tidak bisa menggunakan sangkar yang lebih luas? Apakah burung yang diberi sangkar sesuai peruntukannya itu, mengerti? sempatkah kita memikirkan hal-hal kecil seperti itu?
Kenapa aku tidak boleh membeli sangkar besar untuk sebuah burung yang tidak begitu terkenal dengan alasan itu untuk burung yang lebih terkenal?
Pohon Sebatangkara
Punten kang, sapa ku sopan pada orang-orang yang membawa tumpukan karung besar berisi padi di atas sepeda sambil berkeringat. Aku menghormati mereka, orang-orang sabar dan pekerja keras. Bayangkan berapa bulan mereka menunggu dan merawat bulir beras dengan sepenuh hati. Yang akan kita sisakan di pinggir piring makan setiap hari. Perjalanan menuju borderless village ini memang tidak mudah. Menyusuri pinggiran sungai hingga 26 kilometer jauhnya dari Convenience Store langganan kita nongkrong di tengah kota, tempat kita melabel jidat dengan cat gaul dan urban. Disini, manusia lebih manusia, yang bekerja baru makan, yang masih membersihkan bahan makanannya langsung dari tanah yang masih lapor dan mencium tangan ayah ibunya ketika melangkahkan kaki keluar pintu rumah.
Aku membuka mataku, meyakinkan diri bahwa aku berada di tempat yang benar, awan terlihat seperti kanvas yang membundar dan di lukis perlahan dengan hati-hati, aku duduk di bawah pohon yang sebatangkara, sendirian dimanja angin yang mengalun satu nada.
Aku tersenyum sedikit berbeda kali ini, bukan senyum terpaksa yang selama ini terjahit indah dan sudah terlatih, melainkan senyum simpul seadanya dari seorang manusia yang sedang dengan pasrah menundukan kepala menghadapi keindahan tak terhingga dari penciptanya, mungkin Borderless Village ini adalah tempat dimana kita merasa kecil, tempat yang memberi kita banyak energi positif, kekasihku menyebutnya Zen Place, aku menyebutnya Perbatasan Hujan.
Tidak ada yang perlu diceritakan disini, sisa waktuku di bawah Perbatasan Hujan kugunakan untuk menangis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar