Jumat, 20 Maret 2015

Mengegoiskan Diri



Pada akhirnya semua akan berakhir pada hari-hari yang sepi. Kedap dan sunyi.

Pada akhirnya semua harapan, baik yang telah berjatuhan ataupun yang masih bergantungan di alam mimpi akan kita punguti. Sebagai pencapaian atau sebagai pelajaran.

Pada akhirnya semua akan sama. Sendiri. Bersama diri kita sendiri.


Pada akhirnya kita semua akan mengegoiskan diri. Berusaha bertahan dari dentuman-dentuman kecil keraguan dalam hati yang kian lama kian nyaring. Mengganggumu lewat bisikan di telinga dan teriakan di pangkalnya. Mentidak nyenyakkan tidur malammu dan mimpi-mimpi siangmu. Menggelisahkan seluruh nafasmu dan membebaninya.

Jika kau pernah merasakan hal ini, mungkin kita pernah berada pada tempat yang sama. Rumah sakit yang sama, tepian hujan yang sama, kegelapan malam yang sama, kastel yang sama, dengan bilik-bilik yang sama. Kita, sama-sama terbebani. Tertekan pundak oleh tanggung jawab-tanggung jawab ulah kita sendiri. Dan selain menggegoiskan diri, kita tidak punya pilihan lain.

Egois tidak selalu buruk rupa bukan?

Aku dalam kesakitan, dalam ketidak nyenyakan, dalam ketidak tenangan yang jelas. jika aku tidak mengegoiskan diriku sendiri, Aku tidak akan sekeras kepala itu untuk tetap melangkah. Untuk tetap berpura-pura tenang pada diriku sendiri.

Kau tahu? Ada delapan puluh tiga suara yang berteriak dalam kepalaku. Berbisik-bisik tentang hal yang paling tajam. Berbincang-bincang tentang tabu-tabu yang kujaga baik-baik. mereka semua memporak porandakan kuburan-kuburan kecil ingatan yang sudah susah payah kumakamkan. Berlarian kesana kemari dengan mayat harapan yang bergelimpangan ditangan.

Kau tahu? Bagaimana aku tidak berjalan gontai dengan delapan puluh tiga suara yang berteriak dalam kepalaku? Dengan delapan puluh tiga mereka yang mengkerandakan kembali mayat-mayat harapan yang sudah kukubur di bawah batu nisan kedewasaan?

Kau tahu? Aku mengerahkan seluruh kekuatanku untuk melawan. Tapi, satu hati hanya menjadi tawanan yang menunggu diselamatkan. Dipasung oleh tanggung jawab-tanggung jawab ulah kita sendiri. Hati yang kian lama kian pucat. Diteriaki delapan puluh tiga suara dalam kepalaku.

Dan kau tahu, apa yang membuatku bertahan? Bahwa setidaknya ada satu wanita yang mencintaiku. Ada satu wanita yang berjalan berdampingan membantuku keluar dari keriuhan jiwa ini. Ada satu wanita yang bersedia ada dalam pelukanku. Ada satu wanita yang mengalihkan delapan puluh tiga suara yang berteriak dalam kepalaku.

Kau tahu, apa yang kurasakan saat kau memaparkan ketidakbahagiaamu padaku?

Aku merasakan sedikit kesakitan. Di sekujur tubuh hati yang sudah mati rasa dipasung dan penuh lebam.

Mungkin saatnya menyerah pada delapan puluh empat suara yang berteriak dalam kepalaku.

Sampai bertemu, di Rumah sakit yang sama, tepian hujan yang sama, kegelapan malam yang sama, kastel yang sama, dengan bilik-bilik yang sama. Jangan mencariku. Aku akan sibuk menelan pil kesakitanku sendiri. Kini, tanpa pelukanmu. Egois kah aku?

Pujangga salah pada satu hal: Tidak semua kesakitan dapat kau bagi dengan yang tercintamu. Setidaknya begitu, pada ceritaku.

Pun pada diriku, aku mengegoiskan diri.
Aku takut.
Pada
delapan puluh empat suara yang berteriak dalam kepalaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar