Pada akhirnya semua akan berakhir pada hari-hari yang sepi. Kedap dan
sunyi.
Pada akhirnya semua harapan, baik yang telah berjatuhan ataupun yang masih
bergantungan di alam mimpi akan kita punguti. Sebagai pencapaian atau sebagai
pelajaran.
Pada akhirnya semua akan sama. Sendiri. Bersama diri kita sendiri.
Pada akhirnya kita semua akan mengegoiskan diri. Berusaha bertahan dari
dentuman-dentuman kecil keraguan dalam hati yang kian lama kian nyaring. Mengganggumu
lewat bisikan di telinga dan teriakan di pangkalnya. Mentidak nyenyakkan tidur
malammu dan mimpi-mimpi siangmu. Menggelisahkan seluruh nafasmu dan
membebaninya.
Jika kau pernah merasakan hal ini, mungkin kita pernah berada pada
tempat yang sama. Rumah sakit yang sama, tepian hujan yang sama, kegelapan
malam yang sama, kastel yang sama, dengan bilik-bilik yang sama. Kita,
sama-sama terbebani. Tertekan pundak oleh tanggung jawab-tanggung jawab ulah
kita sendiri. Dan selain menggegoiskan diri, kita tidak punya pilihan lain.
Egois tidak selalu buruk rupa bukan?
Aku dalam kesakitan, dalam ketidak nyenyakan, dalam ketidak tenangan
yang jelas. jika aku tidak mengegoiskan diriku sendiri, Aku tidak akan sekeras
kepala itu untuk tetap melangkah. Untuk tetap berpura-pura tenang pada diriku
sendiri.
Kau tahu? Ada delapan puluh tiga suara yang berteriak dalam kepalaku.
Berbisik-bisik tentang hal yang paling tajam. Berbincang-bincang tentang
tabu-tabu yang kujaga baik-baik. mereka semua memporak porandakan
kuburan-kuburan kecil ingatan yang sudah susah payah kumakamkan. Berlarian kesana
kemari dengan mayat harapan yang bergelimpangan ditangan.
Kau tahu? Bagaimana aku tidak berjalan gontai dengan delapan puluh tiga
suara yang berteriak dalam kepalaku? Dengan delapan puluh tiga mereka yang
mengkerandakan kembali mayat-mayat harapan yang sudah kukubur di bawah batu
nisan kedewasaan?
Kau tahu? Aku mengerahkan seluruh kekuatanku untuk melawan. Tapi, satu
hati hanya menjadi tawanan yang menunggu diselamatkan. Dipasung oleh tanggung
jawab-tanggung jawab ulah kita sendiri. Hati yang kian lama kian pucat. Diteriaki
delapan puluh tiga suara dalam kepalaku.
Dan kau tahu, apa yang membuatku bertahan? Bahwa setidaknya ada satu
wanita yang mencintaiku. Ada satu wanita yang berjalan berdampingan membantuku
keluar dari keriuhan jiwa ini. Ada satu wanita yang bersedia ada dalam
pelukanku. Ada satu wanita yang mengalihkan delapan puluh tiga suara yang
berteriak dalam kepalaku.
Kau tahu, apa yang kurasakan saat kau memaparkan ketidakbahagiaamu
padaku?
Aku merasakan sedikit kesakitan. Di sekujur tubuh hati yang sudah mati
rasa dipasung dan penuh lebam.
Mungkin saatnya menyerah pada delapan puluh empat suara yang berteriak
dalam kepalaku.
Sampai bertemu, di Rumah sakit yang sama, tepian hujan yang sama,
kegelapan malam yang sama, kastel yang sama, dengan bilik-bilik yang sama. Jangan
mencariku. Aku akan sibuk menelan pil kesakitanku sendiri. Kini, tanpa
pelukanmu. Egois kah aku?
Pujangga salah pada satu hal: Tidak semua kesakitan dapat kau bagi
dengan yang tercintamu. Setidaknya begitu, pada ceritaku.
Pun pada diriku, aku mengegoiskan diri.
Aku takut.
Pada
delapan puluh empat suara yang berteriak dalam kepalaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar