Halo, apa kabarmu? Aku harap kau bahagia di sana. kau tahu, sudah sekian
belas tahun semenjak terakhir kali kita saling bertatapan. Berpegangan tangan
di bawah awan kala sore itu. Suasana dan awan yang selalu berusaha ku kekalkan
hingga kini. Karena aku masih berpikir agar suatu saat nanti, saat ada waktunya
aku bersama denganmu kembali, kita bisa duduk dibawah awan sore yang sama. Ini,
kali pertama aku menyebut namamu dalam cerita-ceritaku bukan? Walau aku tahu
kau tidak dapat membacanya lagi.
Semua cerita dan kenanganmu selalu kusimpan dan tertutup rapi. Dihiasi
bunga kenanga dan diteduhi akasia tua. Kenanganmu dan cerita-cerita kita abadi.
Setidaknya disana. Kau tahu, kepergianmu adalah satu-satunya alasan atas krisis
kepercayaan yang terjadi pada diriku. Aku kehilangan kemampuan untuk
mempercayai tuhan dan apapun yang pernah dia ciptakan. Aku kehilangan kemampuan
untuk dapat berbicara lepas pada orang lain. Aku menutupi diriku dengan
kesunyian dan kesendirian. Itu salah satu alasan besar aku tidak pernah
memiliki teman dekat bukan? Semenjak kepergianmu, aku tidak mengerti caranya
berkomunikasi dengan baik. aku memilih untuk bungkam dalam diam. Untuk menutupi
semua ketidakpercayaanku terhadap kepergianmu. Aku belajar untuk tidak
mempercayai siapapun. Hingga kemarin.
Kemarin, seseorang mengusik sesuatu yang amat mendasar dari dinding
kepercayaanku dan meruntuhkan dinding besar kesabaran yang menyertainya. Datang
dengan kepongahan, menggadang-gadang rasa sakitnya atas kepercayaan yang
dikhianati selama dua tahun. Apa artinya dua tahun penghianatan dibandingkan
belasan tahun dihantui denial atas kematianmu yang kekal dan abadi? Dia pikir
kesakitan hanya miliknya sendiri? Hanya dia yang pernah merasakan sakit? Memandang
rendah perasaan orang lain. Setidaknya dia masih bisa datang dan menampar
bajingan itu. Sedangkan aku? Mau ku obrak-abrik pusaramu agar kau kembali
kesisiku dan menggenggam tanganku? Atau perlu ku gigiti batu nisanmu hingga gigi
dan gusi ini copot berdarah agar kau yang mati kembali bilang aku masih cinta
kamu? Sekarang, bolehkah aku berkata kasar? Melawan wanti-wanti yang selalu kau
hentikan dengan jari telunjuk dibibirku dan desahan kecil dibibirmu. Hinaan itu
memaksaku untuk kembali menyebut namamu. Namamu yang sudah kusembunyikan rapi
bahkan dari dunia, kedua orang tuaku, dan tiva.
Meninggalnya kau menyeret luka yang tak pernah kering di bagian dalam
hati. Mengesek-gesek luka yang masih perih dan basah di atas aspal terik. Tapi aku
tahu, semakin lama aku menarik diri dalam kebersalahanku, semakin serius aku mengesek-gesek
luka yang masih perih dan basah di atas aspal terik itu akan membuatmu semakin
sedih bukan? Tega aku membuatmu sedih dalam pusara? Kemana tangis akan kau
cucurkan selain pundakku dulu? Kini hanya kepada tanah?
Aku sudah lebih tenang kini. Aku sudah menjadi orang yang lebih baik. aku
sudah dapat mengguratkan senyum, walau masih terpaksa. Aku tahu kau akan
menjadi orang yang paling sedih saat aku terpuruk dalam kesendirian. Aku tau
kau memandangku dari atas langit sana saat aku duduk bersimpuh di dalam kamar yang
kecil. Atau saat sedang bergumam di atas sepeda menuju kantor. Kau memperhatikanku.
Oleh karena itu aku memutuskan untuk tetap hidup. Aku memutuskan untuk
berpindah dan meninggalkan persaanku padamu yang memang sudah tidak
memungkinkan. Yang suatu saat nanti akan busuk hingga aku tidak tahan pada
baunya. Aku akan terus hidup dan menemukan kepercayaan baru. Demi hidupku
sendiri, bukan untukmu yang telah mati ataupun untuknya. Demi diriku sendiri. Karena
aku akan lebih baik.
Kau tahu, orang yang mengusik dinding kepercayaan itu juga adalah orang
yang membuka pintu kepercayaanku. Aku mulai dapat terbuka terhadap banyak hal,
terhadap rahasia-rahasia kecil, terhadap ketakutanku pada air, terhadap
kepanikanku atas hal-hal kecil – yang pada akhirnya dia padamkan dengan
perkataan lembutnya.
Kau tahu, aku mencintainya yang hidup. Mungkin hanya sedang tertutup
hatinya. Terus-menerus menawariku luka agar dia tahu kata “luka” masih dapat
digunakan untuk melukiskan keinginan mengembalikan seseorang ke sisinya.
Agar dirinya merasa pantas diberikan rasa iba dan rasa kasihan. Dia akan
bilang aku tidak menawarimu luka, aku tidak memintanya. Dia juga akan melengos,
ini tidak ada hubungannya. Agar ibanya sempurna.
--
Hei kau. Ya, luka masih dapat kau gunakan. Kau sudah membuka luka milikku
bukan? Perlu ku gesek-gesek luka yang masih perih dan basah di atas aspal terik
agar kau mengerti itu masih perih?
Ini bukan soal luka kepercayaan siapa yang lebih besar, bukan soal siapa
yang paling tersakiti kepercayaannya. Ini soal kebesaran kepalamu terhadap luka
akan kepercayaan yang membuatmu tidak dapat melihat kebawah. Tanah yang kau
injak penuh belatung kebencian dan dendam. Jangan berani mengucapkan cinta di
tempat kotor itu. Kau hanya memiliki kebencian dan dendam pada orang yang telah
mengambil sesuatu darimu. Karena egomu menyangkalnya, karena egomu menginginkan kau menang dan lebih baik, karena egomu kau bertahan, dan karena egomu pula, semua tulisan ini akan ditampik.
Ya, kau akan bilang. Aku tidak tahu apa-apa. Hanya kau yang merasakan
sakitnya.
Ya, luka milikku tidak seberapa dibandingkan luka milikmu.
Ya, kau berbeda.
Ya, Ibaku padamu.
Wah.
--
Dan aku akan tetap mencintaimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar