Jumat, 13 Juni 2014

Kau Yang Telah Mati

Halo, apa kabarmu? Aku harap kau bahagia di sana. kau tahu, sudah sekian belas tahun semenjak terakhir kali kita saling bertatapan. Berpegangan tangan di bawah awan kala sore itu. Suasana dan awan yang selalu berusaha ku kekalkan hingga kini. Karena aku masih berpikir agar suatu saat nanti, saat ada waktunya aku bersama denganmu kembali, kita bisa duduk dibawah awan sore yang sama. Ini, kali pertama aku menyebut namamu dalam cerita-ceritaku bukan? Walau aku tahu kau tidak dapat membacanya lagi.

Semua cerita dan kenanganmu selalu kusimpan dan tertutup rapi. Dihiasi bunga kenanga dan diteduhi akasia tua. Kenanganmu dan cerita-cerita kita abadi. Setidaknya disana. Kau tahu, kepergianmu adalah satu-satunya alasan atas krisis kepercayaan yang terjadi pada diriku. Aku kehilangan kemampuan untuk mempercayai tuhan dan apapun yang pernah dia ciptakan. Aku kehilangan kemampuan untuk dapat berbicara lepas pada orang lain. Aku menutupi diriku dengan kesunyian dan kesendirian. Itu salah satu alasan besar aku tidak pernah memiliki teman dekat bukan? Semenjak kepergianmu, aku tidak mengerti caranya berkomunikasi dengan baik. aku memilih untuk bungkam dalam diam. Untuk menutupi semua ketidakpercayaanku terhadap kepergianmu. Aku belajar untuk tidak mempercayai siapapun. Hingga kemarin.



Kemarin, seseorang mengusik sesuatu yang amat mendasar dari dinding kepercayaanku dan meruntuhkan dinding besar kesabaran yang menyertainya. Datang dengan kepongahan, menggadang-gadang rasa sakitnya atas kepercayaan yang dikhianati selama dua tahun. Apa artinya dua tahun penghianatan dibandingkan belasan tahun dihantui denial atas kematianmu yang kekal dan abadi? Dia pikir kesakitan hanya miliknya sendiri? Hanya dia yang pernah merasakan sakit? Memandang rendah perasaan orang lain. Setidaknya dia masih bisa datang dan menampar bajingan itu. Sedangkan aku? Mau ku obrak-abrik pusaramu agar kau kembali kesisiku dan menggenggam tanganku? Atau perlu ku gigiti batu nisanmu hingga gigi dan gusi ini copot berdarah agar kau yang mati kembali bilang aku masih cinta kamu? Sekarang, bolehkah aku berkata kasar? Melawan wanti-wanti yang selalu kau hentikan dengan jari telunjuk dibibirku dan desahan kecil dibibirmu. Hinaan itu memaksaku untuk kembali menyebut namamu. Namamu yang sudah kusembunyikan rapi bahkan dari dunia, kedua orang tuaku, dan tiva.

Meninggalnya kau menyeret luka yang tak pernah kering di bagian dalam hati. Mengesek-gesek luka yang masih perih dan basah di atas aspal terik. Tapi aku tahu, semakin lama aku menarik diri dalam kebersalahanku, semakin serius aku mengesek-gesek luka yang masih perih dan basah di atas aspal terik itu akan membuatmu semakin sedih bukan? Tega aku membuatmu sedih dalam pusara? Kemana tangis akan kau cucurkan selain pundakku dulu? Kini hanya kepada tanah?

Aku sudah lebih tenang kini. Aku sudah menjadi orang yang lebih baik. aku sudah dapat mengguratkan senyum, walau masih terpaksa. Aku tahu kau akan menjadi orang yang paling sedih saat aku terpuruk dalam kesendirian. Aku tau kau memandangku dari atas langit sana saat aku duduk bersimpuh di dalam kamar yang kecil. Atau saat sedang bergumam di atas sepeda menuju kantor. Kau memperhatikanku. Oleh karena itu aku memutuskan untuk tetap hidup. Aku memutuskan untuk berpindah dan meninggalkan persaanku padamu yang memang sudah tidak memungkinkan. Yang suatu saat nanti akan busuk hingga aku tidak tahan pada baunya. Aku akan terus hidup dan menemukan kepercayaan baru. Demi hidupku sendiri, bukan untukmu yang telah mati ataupun untuknya. Demi diriku sendiri. Karena aku akan lebih baik.

Kau tahu, orang yang mengusik dinding kepercayaan itu juga adalah orang yang membuka pintu kepercayaanku. Aku mulai dapat terbuka terhadap banyak hal, terhadap rahasia-rahasia kecil, terhadap ketakutanku pada air, terhadap kepanikanku atas hal-hal kecil – yang pada akhirnya dia padamkan dengan perkataan lembutnya.

Kau tahu, aku mencintainya yang hidup. Mungkin hanya sedang tertutup hatinya. Terus-menerus menawariku luka agar dia tahu kata “luka” masih dapat digunakan untuk melukiskan keinginan mengembalikan seseorang ke sisinya.

Agar dirinya merasa pantas diberikan rasa iba dan rasa kasihan. Dia akan bilang aku tidak menawarimu luka, aku tidak memintanya. Dia juga akan melengos, ini tidak ada hubungannya. Agar ibanya sempurna.



--



Hei kau. Ya, luka masih dapat kau gunakan. Kau sudah membuka luka milikku bukan? Perlu ku gesek-gesek luka yang masih perih dan basah di atas aspal terik agar kau mengerti itu masih perih?

Ini bukan soal luka kepercayaan siapa yang lebih besar, bukan soal siapa yang paling tersakiti kepercayaannya. Ini soal kebesaran kepalamu terhadap luka akan kepercayaan yang membuatmu tidak dapat melihat kebawah. Tanah yang kau injak penuh belatung kebencian dan dendam. Jangan berani mengucapkan cinta di tempat kotor itu. Kau hanya memiliki kebencian dan dendam pada orang yang telah mengambil sesuatu darimu. Karena egomu menyangkalnya, karena egomu menginginkan kau menang dan lebih baik, karena egomu kau bertahan, dan karena egomu pula, semua tulisan ini akan ditampik.

Ya, kau akan bilang. Aku tidak tahu apa-apa. Hanya kau yang merasakan sakitnya.

Ya, luka milikku tidak seberapa dibandingkan luka milikmu.

Ya, kau berbeda.

Ya, Ibaku padamu.


Wah.






--




Dan aku akan tetap mencintaimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar