Jumat, 30 Mei 2014

Sejarah HAM, Tribute For #melawanlupa



Soundtrack: Bandaneira - Mawar

Selama ini kita sering mendengar persoalan mengenai Hak Asasi Manusia, para pejuang HAM senantiasa menuntut haknya, hak-hak sederhana yang seharusnya tidak dilanggar, hak yang mencakup individu, keluarga, masyarakat, dan semua bentuk kemanusiaan dalam tiga puluh poin banyaknya yang termuat dalam hak-hak dasar dan kebebasan yang disetujui secara Universal. Namun pelanggaran masih banyak terjadi, kasus-kasus ditelantarkan dan diremehkan, atau sengaja dilupakan. Adanya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tidak serta merta membuat pelanggar-pelanggar HAM dengan berbagai tujuan yang berbeda mengindahkan adanya perjanjian tersebut. Mari mencoba menelisik, bagaimana HAM ini lahir dan sejauh mana penyimpangan yang telah terjadi dari awal lahirnya HAM.

Hak Asasi Manusia, sejatinya sudah ada jauh sebelum kelahiran kita, naskah yang ditemukan pertama kali berkaitan dengan HAM adalah Khutbatul Wada’. Kala itu, beberapa waktu sebelum Rasulullah SAW wafat di tahun 632 M, beliau menyampaikan pidatonya di depan seratus ribu manusia di kota Makkah, sebuah pidato bersejarah yang disebut Khutbatul Wada’ atau khutbah perpisahan. Berabad-abad setelahnya Magna Charta diumumkan di Eropa sebagai teks Hak Asasi Manusia yang pertama di tahun 1215. Rentang waktu yang jauh antara Khutbatul Wada’ dengan Magna Charta, tepatnya 583 tahun. sedangkan deklarasi PBB mengenai HAM  baru disetujui pada tahun 1948, 1316 tahun jauhnya setelah Khutbatul Wada’ dikumandangkan.

Pembahasan dalam Khutbatul Wada’ terdiri dari semua hak dan kebebasan yang mencakup individu, keluarga, masyarakat, dan semua bentuk kemanusiaan. Hak-hak tersebut disampaikan sangat jelas; hak untuk hidup, hak untuk memiliki, dan hak mendapatkan perlindungan bagi keluarga.

“Wahai manusia! Seperti halnya hari ini adalah hari yang mulia, bulan ini adalah bulan yang mulia dan kota ini (Makkah kala itu) adalah kota yang mulia, maka jiwa dan harga benda kalian juga mulia dan telah terlindung dari segala ancaman.”

Khutbatul Wada’ dalam perannya sebagai dokumen mengenai hak asasi manusia, mengatur hak-hak untuk seluruh umat manusia. Menurut Islam semua manusia sama tanpa adanya perbedaan  bahasa, suku bangsa, warna kulit, dan Jenis. Merasa lebih unggul berdasarkan kategori tersebut bertentangan dengan Islam;

“Wahai manusia! Tuhan kalian adalah satu dan ayah kalian adalah satu. Kalian adalah anak cucu Adam, sedangkan Adam tercipta dari tanah. Orang Arab tidak memiliki keunggulan atas non-Arab, seperti juga non-Arab tidak memiliki keunggulan atas orang Arab; tidak ada keunggulan orang berkulit merah atas orang berkulit hitam ataupun sebaliknya. Keunggulan hanya ada pada takwa, yaitu rasa takut kepada Allah ta’ala. Orang yang paling mulia derajatnya di sisi Allah adalah orang yang paling takut kepada-nya”

Dalam sejarah Eropa, naskah perdana HAM adalah Magna Charta tahun 1215. Dengan adanya Magna Charta, kekuasaan di Inggis antara Paus Innocent III, Raja John, dan para tuan tanah menjadi terbagi. Hal tersebut juga menjadi pemicu diakuinya beberapa hak parsial untuk masyarakat umum. Barulah pada tahun 1774 kolonial Amerika menang dalam perjuangan kemerdekaan terhadap Inggris dan pada tahun 1776 hak asasi manusia dinyatakan dalam Deklarasi Hak Virginia oleh Amerika. Dan dengan pengaruhnya, pada tahun 1789 Revolusi Perancis terjadi dan menjadi pemicu lain diumumkannya Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Kewarganegaraan.

Sampai terjadinya Perang Dunia II, negara-negara barat masih menerapkan HAM dalam lingkup perbatasan masing-masing negara saja. Negara-negara tersebut melihat HAM sebagai permasalahan internal mereka sendiri dan menilai HAM sebagai bentuk pemberian kepada warga  negara mereka. Sejatinya, HAM harus segera dipikirkan sebagai masalah global, terlebih dengan bermunculannya rezim-rezim yang mengancam umat manusia seperti: Nazisme, Fasisme, dan Komunisme. Terbunuhnya jutaan manusia saat perang dunia II, serta penerapan genosida di berbagai bangsa, tidak terkecuali Indonesia.



Genosida atau genosid adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat punah) bangsa tersebut. Kata ini pertama kali digunakan oleh ahli hukum Polandia, Raphael Lemkin, pada tahun 1944 dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe. Sedangkan istilah genisoda budaya yang berarti pembunuhan peradaban dengan melarang penggunaan bahasa dari suatu kelompok atau suku, mengubah atau menghancurkan sejarahnya atau menghancurkan simbol-simbol peradabannya. Indonesia, melaksanakan genosida pada prateknya. 30 September 1965 dalam sejarah yang tercatat, terjadi peristiwa pembunuhan jenderal-jenderal TNI yang mayatnya lalu dibuang di lubang buaya. Peristiwa tersebut menyulut pergolakan di dalam masyarakat untuk membalas dendam atas meninggalnya 7 jenderal yang dalam sejarahnya dikatakan terbunuh oleh PKI.

Pertistiwa tersebut seakan menjadi sumbu menuju ledakan yang lebih besar. Diantaranya adalah pembantaian massal orang-orang yang diduga komunis pada saat itu, pembantaian salah satu etnis yaitu etnis Cina yang pada waktu itu dianggap sebagai orang-orang komunis tanpa terkecuali. Seluruh penjuru Indonesia pada waktu itu membantai, menyiksa sampai memerkosa orang-orang yang dianggap bertanggung jawab atas terbunuhnya para jenderal di lubang buaya. Sekitar 1,5 juta rakyat Indonesia yang pada waktu itu masih diduga komunis atau berhubungan dengan komunis dibantai.

Lalu berlanjut pada tahun 1998 dimana terjadi peristiwa penghilangan orang secara paksa atau penculikan terhadap para aktivis pro-demokrasi yang terjadi menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum tahun 1997 dan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 1998. Peristiwa ini dipastikan terjadi dalam tiga tahap; menjelang pemilu Mei 1997, dalam waktu dua bulan menjelang sidang MPR bulan Maret, sembilan diantara mereka yang diculik selama periode kedua dilepaskan kembali, tapi tak satupun dari mereka yang diculik pada periode pertama dan ketiga kembali. Total 23 orang telah dihilangkan dalam peristiwa ini.

Puncaknya adalah peristiwa eksekusi terhadap Munir Said Thalib, meninggal terbunuh di Jakarta dalam pesawat menuju Amsterdam, 7 September 2004. Saat menjabat Dewan Kontras namanya terkenal sebagai pejuang bagi orang-orang yang hilang diculik pada peristiwa 1998. Ketika itu dia membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus.

Banyaknya pelanggaran terhadap HAM seperti itu masih terjadi walaupun PBB yang didirikan setelah Perang Dunia II menyetujui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tahun 1947. Deklarasi ini mencakup tiga puluh poin tentang hak-hak dasar dan kebebasan yang diakui oleh hampir setiap negara saat ini. Kini tugas kita, menyambung sejarah panjang atas HAM dan mengawal jalannya penegakkan HAM secara benar.


Dihimpun dari berbagai sumber.

Mohon maaf bila ada kesalahan informasi diatas.
foto: triplepundit.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar