Soundtrack: Banda neira - Kapal Kertas
Tulisan ini ditulis di pinggir Pantai Semak Daun, 26 April 2014 diatas
batang pohon yang melintang, menggurat pasir pantai putih yang jernih dengan pantulan
mentari senja di atasnya.
Namaku Yudith, 23 tahun dan terlahir di sebuah Kota Indah yang dingin di
Puncak Gunung, terselimuti lereng-lereng tinggi nan hijau di dataran Pasundan, Kota
kerajaan bak mutiara yang dilindungi Gunung sekelilingnya. Bagiku, Laut dan
Pantai adalah dua hal yang tidak pernah masuk kedalam kamus bahasaku, sejak
kecil, dua kata tersebut adalah anomali dalam ruang pikiran nalar yang selalu
diselimuti semak lereng Gunung dan lumut penunjuk arah Barat. Laut dan Pantai
sama mistisnya dengan naga berlidah api bagiku, hal yang tidak pernah dapat aku
raba untuk semata mengiyakan keberadaannya.
Perburuan terhadap naga berlidah api akhirnya menemui ujungnya hari ini.
Bermil-mil jauhnya dari Pegunungan, ada satu ketidaknyamanan yang menggelitik
hati dan meresah karena berada jauh dari Gunung. Gunung telah
mengajarkan banyak kebijaksanaan dan kearifan padaku yang sejak tadi pagi
meringkuk di geladak kapal biru muda. Pelajaran yang ditempakan Gunung tetes
demi tetes, menumbuhkan seorang anak dengan bunga melati sifat yang berakar
pada dua hal tersebut, Arif dan Bijak.
Laut sangat berbeda dengan Gunung, meski penunjuk arah utaranya
sama-sama bintang berpendar dan gugusan orion, mereka kerap kali saling bertolak
belakang, bahkan ber-ironi. jika Pegunungan mengajar kearifan dan kebijaksanaan,
maka Laut mengajarkan kesabaran dan kepercayaan. Laut mengajarkan untuk berpasrah dan mendengarkan
diri sendiri, bagaimana degup jantung dan pemandangan laut terjadi dalam mode
bisu, dimana berkomunikasi menjadi ritual tabu.
Laut meminta aku melakukan hal sinting, sang anak yang anti air dan lahir
di dataran tinggi untuk memasrahkan diri pada air, mempercayakan seluruh
kehidupan pada zat cair yang bening, panik hanya akan menenggelamkan ego diri.
Untuk seorang keras kepala dan mudah panik sepertiku, ini bukan hal yang mudah,
lebih baik tugaskan aku berlari di belantara hutan mencari akasia tua atau kunang-kunang
senja daripada harus menenggelamkan kepala di dalam lautan yang bahkan tidak ku
tahu dalamnya seperti apa.
Laut tidak memberikan pilihan bebas sebagaimana hutan membebaskan jalan
dan mempercayakan kita pada bunga melati arif. Laut tegas dan jelas, hanya
menjual dua pilihan: Panik dan tenggelam, atau berpasrah dan bersublim pada
laut. Aku si keras kepala ini bersikeras untuk memilih panik, tidak puas menelan
liter air laut yang rasanya tidak tawar, memandang gelagapan dan mencari
sesuatu untuk bertumpu atau berpegangan, namun laut yang dalam dibawah kaki
hanya cekikikan sementara yang kulihat gelembung-gelembung putih dan paru-paru
yang mulai ditekan sempit. Pada titik ini sesuatu yang menggelitik itu membesar,
aku bersiap meluncur menuju dasar dan menikmati gelap terakhir kali, lelah aku
dengan dunia nyata, sudahlah tenggelam disini.
Ternyata, laut adalah ibu yang baik, saat kepanikan dan seluruh beban itu luruh berguguran,
sesuatu yang sejak pagi menggelitik dalam hati mekar seperti bunga melati putih
yang cantik, bunga melati itu adalah kesabaran dan ketenangan dua sifat baru
yang kupetik dari perjalan ditengah lautan biru. Laut menimangku di pangkuannya,
mengambang bukan lagi soal biologis bagaimana kaki dan tangan membentuk sisi
aerodinamis, mengambang hanya perihal ketenangan pada alam, pada laut yang
lebih besar. Sepanjang sore ini aku dihadiahi pemandangan yang tak terlukiskan
di bawah Laut, dunia yang sejak dulu anomali dan mistis bagi ruang pikiran
nalar, Laut berbaik hati menunjukkan dunianya karena aku telah mau berpasrah
dan meluruh kan semua beban yang memberatkan tubuh.
Tempat ini, wilayah Laut dan pasir pantai, desiran ombak dan anginnya,
juga awan yang menari hinga ujung batas pandangan mata adalah hal yang baru
bagiku. Awannya lebih menenangkan dan lebih intim dari awan yang berada di atas
Gunung. Hai, awan kecil, apa kau juga perrnah mengunjungi tempat ini? Kelak saat
kita sama-sama sudah besar dan berbeda, aku akan dewasa dengan melati-melati
sifat yang baru dan wangi, dan kau sudah menjadi awan besar yang cantik, mari
bertemu. Aku tidak keberatan bertemu di tempat seperti ini, meski tanpa pohon
akasia dan kunang-kunang senja yang kita suka.
Laut, terima kasih atas dua bunga melati yang kau hadiahkan, itu
melengkapi melati yang sejak kecil dihadiahkan Gunung. Kelak, melati-melati ini
lah yang akan mewangikan diri, hingga bertemu pusara di ujung senja nanti.
2014, Yudith yang kegirangan menginjak pasir pantai.
--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar