Senin, 28 April 2014

Aku (mungkin) Suka Awan di Atas Laut

Soundtrack: Banda neira - Kapal Kertas


Tulisan ini ditulis di pinggir Pantai Semak Daun, 26 April 2014 diatas batang pohon yang melintang, menggurat pasir pantai putih yang jernih dengan pantulan mentari senja di atasnya.



Namaku Yudith, 23 tahun dan terlahir di sebuah Kota Indah yang dingin di Puncak Gunung, terselimuti lereng-lereng tinggi nan hijau di dataran Pasundan, Kota kerajaan bak mutiara yang dilindungi Gunung sekelilingnya. Bagiku, Laut dan Pantai adalah dua hal yang tidak pernah masuk kedalam kamus bahasaku, sejak kecil, dua kata tersebut adalah anomali dalam ruang pikiran nalar yang selalu diselimuti semak lereng Gunung dan lumut penunjuk arah Barat. Laut dan Pantai sama mistisnya dengan naga berlidah api bagiku, hal yang tidak pernah dapat aku raba untuk semata mengiyakan keberadaannya.  

Perburuan terhadap naga berlidah api akhirnya menemui ujungnya hari ini. Bermil-mil jauhnya dari Pegunungan, ada satu ketidaknyamanan yang menggelitik hati dan meresah karena berada jauh dari Gunung. Gunung telah mengajarkan banyak kebijaksanaan dan kearifan padaku yang sejak tadi pagi meringkuk di geladak kapal biru muda. Pelajaran yang ditempakan Gunung tetes demi tetes, menumbuhkan seorang anak dengan bunga melati sifat yang berakar pada dua hal tersebut, Arif dan Bijak.

Laut sangat berbeda dengan Gunung, meski penunjuk arah utaranya sama-sama bintang berpendar dan gugusan orion, mereka kerap kali saling bertolak belakang, bahkan ber-ironi. jika Pegunungan mengajar kearifan dan kebijaksanaan, maka Laut mengajarkan kesabaran dan kepercayaan.  Laut mengajarkan untuk berpasrah dan mendengarkan diri sendiri, bagaimana degup jantung dan pemandangan laut terjadi dalam mode bisu, dimana berkomunikasi menjadi ritual tabu.

Laut meminta aku melakukan hal sinting, sang anak yang anti air dan lahir di dataran tinggi untuk memasrahkan diri pada air, mempercayakan seluruh kehidupan pada zat cair yang bening, panik hanya akan menenggelamkan ego diri. Untuk seorang keras kepala dan mudah panik sepertiku, ini bukan hal yang mudah, lebih baik tugaskan aku berlari di belantara hutan mencari akasia tua atau kunang-kunang senja daripada harus menenggelamkan kepala di dalam lautan yang bahkan tidak ku tahu dalamnya seperti apa.

Laut tidak memberikan pilihan bebas sebagaimana hutan membebaskan jalan dan mempercayakan kita pada bunga melati arif. Laut tegas dan jelas, hanya menjual dua pilihan: Panik dan tenggelam, atau berpasrah dan bersublim pada laut. Aku si keras kepala ini bersikeras untuk memilih panik, tidak puas menelan liter air laut yang rasanya tidak tawar, memandang gelagapan dan mencari sesuatu untuk bertumpu atau berpegangan, namun laut yang dalam dibawah kaki hanya cekikikan sementara yang kulihat gelembung-gelembung putih dan paru-paru yang mulai ditekan sempit. Pada titik ini sesuatu yang menggelitik itu membesar, aku bersiap meluncur menuju dasar dan menikmati gelap terakhir kali, lelah aku dengan dunia nyata, sudahlah tenggelam disini.

Ternyata, laut adalah ibu yang baik, saat kepanikan dan seluruh beban itu luruh berguguran, sesuatu yang sejak pagi menggelitik dalam hati mekar seperti bunga melati putih yang cantik, bunga melati itu adalah kesabaran dan ketenangan dua sifat baru yang kupetik dari perjalan ditengah lautan biru. Laut menimangku di pangkuannya, mengambang bukan lagi soal biologis bagaimana kaki dan tangan membentuk sisi aerodinamis, mengambang hanya perihal ketenangan pada alam, pada laut yang lebih besar. Sepanjang sore ini aku dihadiahi pemandangan yang tak terlukiskan di bawah Laut, dunia yang sejak dulu anomali dan mistis bagi ruang pikiran nalar, Laut berbaik hati menunjukkan dunianya karena aku telah mau berpasrah dan meluruh kan semua beban yang memberatkan tubuh.

Tempat ini, wilayah Laut dan pasir pantai, desiran ombak dan anginnya, juga awan yang menari hinga ujung batas pandangan mata adalah hal yang baru bagiku. Awannya lebih menenangkan dan lebih intim dari awan yang berada di atas Gunung. Hai, awan kecil, apa kau juga perrnah mengunjungi tempat ini? Kelak saat kita sama-sama sudah besar dan berbeda, aku akan dewasa dengan melati-melati sifat yang baru dan wangi, dan kau sudah menjadi awan besar yang cantik, mari bertemu. Aku tidak keberatan bertemu di tempat seperti ini, meski tanpa pohon akasia dan kunang-kunang senja yang kita suka.

Laut, terima kasih atas dua bunga melati yang kau hadiahkan, itu melengkapi melati yang sejak kecil dihadiahkan Gunung. Kelak, melati-melati ini lah yang akan mewangikan diri, hingga bertemu pusara di ujung senja nanti.



2014, Yudith yang kegirangan menginjak pasir pantai.



--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar