Teater Gunung
Burung tidak berkicau hari ini. Matahari pun nampaknya belum akan beranjak dari atas gunung sebelah kanan Bandung. hari ini, mungkin pertama kalinya dari perjalanan satu minggu ini, aku menanggalkan sepedaku. Seseorang pernah berkata "Jika kau ingin mempelajari suatu kota, gunakanlah kendaraan umumnya." jadi hari ini aku memutuskan menyiapkan uang recehan dan mengangkot sebelum pulang ke Ibu kota. Sebenarnya tidak seluruhnya menggunakan angkot, Bandung kota yang menyenangkan bahkan untuk berjalan kaki.
Tidak lama berjalan ke luar kawasan kampus gajah tepat di seberang gerbang masuk, yang biasa mahasiswa disini sebut kubus, aku memutuskan untuk sarapan, persis seperti pelancong di hari rabu. Ya, rabu biasa di bulan biasa tanpa tanggal merah satu pun. Lalu aku menyedakkan makananku. Sedikit tertawa, apa-apaan aku ini, aku orang Bandung, besar disini dan lahir disini, ini rumah. Ya, rumah. Perlu bermangkok-mangkok bubur ayam untuk meyakinkan bahwa ini tempat untuk pulang, tempatku jika lelah berjalan, tempatku jika ingin berhenti dan menarik nafas, ini Perbatasan Hujan. Seharusnya.
Setelah makan aku melihat sekeliling, tempat ini terlalu bagus untuk sebuah kubus. Atau sebuah monumen Perjuangan segala macam, yang biasanya bau pesing dan berubah menjadi penampungan sampah sementara. Oke memang banyak sampah disini, tapi tempat ini aneh. Aku berkeliling, Tempat ini berbentuk setengah lingkaran dan di tengahnya berdiri sebuah monumen berbentuk kubus, di sekelilingnya ini seperti kanopi lantai dua dari sebuah rumah dimana kau dapat melihat ke tempat yang jauh, lantai satunya adalah Taman Ganesha sebelah kanan Mesjid Salman. Aku mengamati setiap sisinya dan menemukan sesuatu yang menarik terkamuflase dengan pohon rambat dan beberapa sampah bekas. Disitu terpatri tulisan yang menerangkan nama Gunung, angka kecil dan sebuah arah panah. lalu, terdapat sekitar enam nama gunung, angka angka aneh dan panah yang menunjukkan arah yang berbeda. Aku tidak mengerti tempat apa ini, sebuah tempat biasa? ataukan panah panah ini benar-benar memiliki fungsi? ITB sejak dulu memang dibuat dengan cara yang unik, setiap sudut kampus ini memiliki arti yang berdeda, namun yang ini belum pernah aku baca dari catatan sejarahnya. Petama kalinya imajinasiku berhenti, mandeg tertubruk dinding tebal yang kasar lengkap dengan pohon rambat dan sampah bekasnya, entahlah tempat apa itu.
*Tempat itu berada tepat di seberang gerbang masuk kampus ITB dalam gambar
--
Travel
Dalam travel aku melakukan keahlianku satu satunya. "merenung". keahlian yang selalu di remehkan oleh teman-temanku di ibu kota, mereka bilang aku terlalu banyak berfikir, terlalu banyak merenung, tidak melakukan apa apa. Mari berandai aku adalah seorang kompeni Belanda saat bagunan ini dibuat. Apa yang aku pikirkan? apa yang harusnya ada di Tempat yang kelak menjadi cabang teknik dari Universitas Indonesia ini. Apa yang seharusnya terlihat jika Bangunan bangunan tinggi jauh di pandangan horizon itu tidak ada? ah, ya! aku sedikit tersentak di tengah kursi travel yang sempit. Jika aku seorang kompeni Belanda, yang berada di tempat itu lagi aku akan berkata:
"Buatkan sebuah kanopi disini supaya aku bisa menyombongkan berapa banyak gunung indah yang mengelilingi Bandung. Dan di setiap sore, aku akan membawa keluargaku kesini, bercerita tentang gunung itu satu per satu kepada anak cucu"
Sampai sekarang aku masih mencari referensi mengenai lingkaran kecil di depan kampus ITB itu. Tempat dimana kita bisa melihat semua Gunung, dilengkapi petunjuk nama, jarak dan arahnya dari Kampus. Jika semua gedung tinggi itu tidak ada tentunya. Pada jamannya, kakek ku pernah bercerita di kota Bandung yang masih kecil, tidak ada Bangunan yang boleh lebih tinggi dari Gedung sate, letak kampus ITB ini berada di sisi kanan atas gedung sate dan secara otomatis pandangan paling tinggi berada di tempat itu. Jadi wajar jika memang ada sebuah tempat dimana mereka dapat mengobservasi semua daerah di Bandung. Baik itu kepentingan pembelajaran atau yang lainnya. Ini menjadi satu alasan lain kenapa Bandung disebut Paris van Java dahulu. Bukan, factory outlet tentu bukan salah satu dari alasan utamanya.
Tempat-tempat ini, tidak akan mungkin kita temukan di Bandung jika kita berjalan cepat. hanya fokus kepada penjual sushi dan pakaian yang harga merknya lebih mahal dari kancingnya. Kita harus berjalan pelan, menanggalkan semua atribut sombong kekinian, menyimpannya di dalam saku untuk setengah hari, yang mungkin delapan puluh persen dari kita belum mampu melakukannya.
Aku akan bahas mengenai teater gunung ini lain kali. Janji
gambar dari: ditbang.itb.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar