Jumat, 02 Mei 2014

Untuk Bandung, Aku Ingin Pulang

Tentang hubungan dengan sebuah Kota.

Untuk kebanyakan orang yang pernah tinggal disana, Bandung adalah kota kenangan. “ini bukan tentang kota, tapi tentang cerita” ucapnya. Lalu mereka berpindah meninggalkan kota yang indah ini untuk mengejar apa yang disebut mimpi, dan pengalaman, entah itu di Jakarta atau di kota lain. Jauh di lubuk hatinya mereka akan tetap merindukan Bandung. Sama seperti mereka merindukan rumahnya yang lama, kampusnya, atau tempat makan kesukannya. – sebenarnya mereka akan merindukan seluruhnya. Tapi waktu harus berubah, orang-orang harus pindah dan mencari kehidupan yang lebih baik, benar kan? Setidaknya itu yang orang-orang katakan dan lakukan.

Untukku, Bandung bukan hanya kota yang menyimpan banyak kenangan saat kuliah, selalu lebih dari itu, dan aku tau bahkan jauh sebelum aku mulai meninggalkan kota ini.


Paragraf diatas terngiang dalam pikiranku selama beberapa hari, membanjiri hati dengan perasaan yang hangat.

Aku ingat bagaimana saat aku kecil, berdiri di gerbong terluar kereta yang gelap, langsung menghadap pintu bersama ibu dan ayah karena bagian dalam sudah penuh sesak, aku selalu ketakutan dan memeluk perut ibuku erat-erat, sembari sedikit mengintip cahaya-cahaya rumah yang berpendar di kaki-kaki gunung. Sepanjang Perjalanan itu, perjalanan yang selalu dicucuki oleh angin malam yang dinginnya kelewatan namun entah kenapa selalu kurindukan, ibu selalu berkata “rumah kita di atas sana, lampunya pasti terlihat disini, sebentar lagi kita pulang”. Aku tidak pernah sempat melihat wajah ibu, tapi aku yakin dia sedang tersenyum.

Atau saat sudah mulai dewasa dan bersekolah, berjalan tanpa penerangan sebelum shubuh, dari rumah kami yang di kaki gunung sebelah Timur Bandung itu menuju sekolah di pusat kota, menempuh perjalanan darat sepanjang dua puluh tiga kilometer. Ayah selalu mengantarku sampai jalan besar dengan motor kecilnya setiap jam empat pagi. Sesampainya di jalan besar, dimana aku harus menyeberang menunggu bis yang dapat membawaku ke pusat kota. Ayah akan tetap diam di seberang, bersusah payah menyalakan lampu motornya dan menahan dingin, menunggu hingga anaknya mendapatkan bis, yang bebalnya aku, sering bersembunyi di semak agar ayah mengira aku sudah pergi, dia akan segera pulang dan melanjutkan tidurnya yang selalu kusita setiap pagi.

Bandung adalah sebuah kota dimana aku benar-benar tumbuh, sejak kecil sudah ada sebuah ikatan yang terjalin rapat antara anak bebal ini dan kotanya. Entah udaranya, cuacanya, tanahnya, atau awannya, mungkin sesuatu yang lebih abstrak dan tidak terguratkan seperti itu, mungkin lebih ke perhatian yang diberikan sang kota, atau mungkin sebuah kata yang selalu diharapkan setiap anak: kata “Pulang” setelah menangis karena melakukan kesalahan. Kota ini adalah satu-satunya kota dimana aku selalu merasa dapat pulang, tidak hanya dalam hal raga, tapi juga perasaan.

Sebebal apapun dan senakal apapun anak ini, Bandung adalah sebuah kata yang selalu dapat menentramkan, meyakinkan bahwa kesendirian yang selama ini menyelimuti dirinya pun bukan masalah saat pulang. Aku akan selalu merasa diterima, disini, di Bandung.

Kini, aku hanya dapat melihat gambar dan berita dari kota itu melalui komputer di cubicle kecil sebuah kantor di Jakarta. Mereka benar, kami akan berpindah meninggalkan kota yang indah itu untuk mengejar apa yang disebut mimpi, dan pengalaman, atau penghidupan yang lebih baik, entah itu di Jakarta atau di kota lain di belahan dunia. Jauh di lubuk hati kami, kami masih merindukan Bandung yang kecil dan hangat, wangi tanahnya setelah hujan, angin yang bagai malaikat saat matahari sedang terik, Jagung manis rebus yang dibawa bapak berkemeja keriput, atau matahari pagi yang mengintip manja di balik tirai gunung. Namun dalam kenyataannya, seberapa besarpun aku merindukan untuk dapat merasakan pulang di Bandung, aku belum bisa pulang. Perjalanan yang kami putuskan secara egois di masa dewasa muda kami belum mencapai titik selesai. Mimpi, dan pengalaman yang berusaha kami kejar itu, tak kunjung juga kami dapat.

Beberapa kali aku coba berkunjung untuk pulang ke kota kecil itu, namun, perasaan bersalah karena perjalanan yang belum selesai, entah kenapa secara ajaib akan melontarkan paksa kami setiap akhir minggu untuk kembali ke pengejaran masing-masing senin paginya. Tapi Bandung, selalu menatap tenang di balik punggung kami saat berada di jalan tol menuju perantauan, atau pesawat menuju pulau di seberang, sama seperti ayah yang menunggu di seberang jalan, dan ibu yang kupeluk perutnya. Mereka tetap berbisik mendoakan kami agar segera pulang.



Dan kami, hanya dapat terisak, mengingat Kota kecil yang hangat di atas gunung itu.


Untuk Bandung, aku ingin pulang




--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar