Tentang hubungan dengan sebuah Kota.
Untuk kebanyakan orang yang pernah tinggal disana, Bandung adalah kota
kenangan. “ini bukan tentang kota, tapi tentang cerita” ucapnya. Lalu mereka
berpindah meninggalkan kota yang indah ini untuk mengejar apa yang disebut
mimpi, dan pengalaman, entah itu di Jakarta atau di kota lain. Jauh di lubuk
hatinya mereka akan tetap merindukan Bandung. Sama seperti mereka merindukan rumahnya
yang lama, kampusnya, atau tempat makan kesukannya. – sebenarnya mereka akan
merindukan seluruhnya. Tapi waktu harus berubah, orang-orang harus pindah dan
mencari kehidupan yang lebih baik, benar kan? Setidaknya itu yang orang-orang
katakan dan lakukan.
Untukku, Bandung bukan hanya kota yang menyimpan banyak kenangan saat
kuliah, selalu lebih dari itu, dan aku tau bahkan jauh sebelum aku mulai
meninggalkan kota ini.
Paragraf diatas terngiang dalam pikiranku selama beberapa hari,
membanjiri hati dengan perasaan yang hangat.
Aku ingat bagaimana saat aku kecil, berdiri di gerbong terluar kereta
yang gelap, langsung menghadap pintu bersama ibu dan ayah karena bagian dalam
sudah penuh sesak, aku selalu ketakutan dan memeluk perut ibuku erat-erat,
sembari sedikit mengintip cahaya-cahaya rumah yang berpendar di kaki-kaki
gunung. Sepanjang Perjalanan itu, perjalanan yang selalu dicucuki oleh angin
malam yang dinginnya kelewatan namun entah kenapa selalu kurindukan, ibu selalu
berkata “rumah kita di atas sana, lampunya pasti terlihat disini, sebentar lagi
kita pulang”. Aku tidak pernah sempat melihat wajah ibu, tapi aku yakin dia
sedang tersenyum.
Atau saat sudah mulai dewasa dan bersekolah, berjalan tanpa penerangan
sebelum shubuh, dari rumah kami yang di kaki gunung sebelah Timur Bandung itu
menuju sekolah di pusat kota, menempuh perjalanan darat sepanjang dua puluh
tiga kilometer. Ayah selalu mengantarku sampai jalan besar dengan motor kecilnya
setiap jam empat pagi. Sesampainya di jalan besar, dimana aku harus menyeberang
menunggu bis yang dapat membawaku ke pusat kota. Ayah akan tetap diam di
seberang, bersusah payah menyalakan lampu motornya dan menahan dingin, menunggu
hingga anaknya mendapatkan bis, yang bebalnya aku, sering bersembunyi di semak
agar ayah mengira aku sudah pergi, dia akan segera pulang dan melanjutkan
tidurnya yang selalu kusita setiap pagi.
Bandung adalah sebuah kota dimana aku benar-benar tumbuh, sejak kecil
sudah ada sebuah ikatan yang terjalin rapat antara anak bebal ini dan kotanya. Entah
udaranya, cuacanya, tanahnya, atau awannya, mungkin sesuatu yang lebih abstrak
dan tidak terguratkan seperti itu, mungkin lebih ke perhatian yang diberikan
sang kota, atau mungkin sebuah kata yang selalu diharapkan setiap anak: kata “Pulang”
setelah menangis karena melakukan kesalahan. Kota ini adalah satu-satunya kota
dimana aku selalu merasa dapat pulang, tidak hanya dalam hal raga, tapi juga
perasaan.
Sebebal apapun dan senakal apapun anak ini, Bandung adalah sebuah kata
yang selalu dapat menentramkan, meyakinkan bahwa kesendirian yang selama ini
menyelimuti dirinya pun bukan masalah saat pulang. Aku akan selalu merasa
diterima, disini, di Bandung.
Kini, aku hanya dapat melihat gambar dan berita dari kota itu melalui komputer
di cubicle kecil sebuah kantor di Jakarta. Mereka benar, kami akan berpindah meninggalkan
kota yang indah itu untuk mengejar apa yang disebut mimpi, dan pengalaman, atau
penghidupan yang lebih baik, entah itu di Jakarta atau di kota lain di belahan
dunia. Jauh di lubuk hati kami, kami masih merindukan Bandung yang kecil dan
hangat, wangi tanahnya setelah hujan, angin yang bagai malaikat saat matahari
sedang terik, Jagung manis rebus yang dibawa bapak berkemeja keriput, atau matahari
pagi yang mengintip manja di balik tirai gunung. Namun dalam kenyataannya,
seberapa besarpun aku merindukan untuk dapat merasakan pulang di Bandung, aku
belum bisa pulang. Perjalanan yang kami putuskan secara egois di masa dewasa
muda kami belum mencapai titik selesai. Mimpi, dan pengalaman yang berusaha
kami kejar itu, tak kunjung juga kami dapat.
Beberapa kali aku coba berkunjung untuk pulang ke kota kecil itu, namun,
perasaan bersalah karena perjalanan yang belum selesai, entah kenapa secara
ajaib akan melontarkan paksa kami setiap akhir minggu untuk kembali ke
pengejaran masing-masing senin paginya. Tapi Bandung, selalu menatap tenang di
balik punggung kami saat berada di jalan tol menuju perantauan, atau pesawat
menuju pulau di seberang, sama seperti ayah yang menunggu di seberang jalan,
dan ibu yang kupeluk perutnya. Mereka tetap berbisik mendoakan kami agar segera
pulang.
Dan kami, hanya dapat terisak, mengingat Kota kecil yang hangat di atas
gunung itu.
Untuk Bandung, aku ingin pulang
--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar